Hidayatullahcom—Sedikitnya 11 orang meninggal dunia akibat berdesak-desakan di kota Karachi, Pakistan selatan pada hari Jumat. Korban adalah penerima sumbangan sedekah Ramadan di negara yang kini dilanda inflasi itu, kata polisi dikutip Albawaba.
Saat itu ratusan wanita dan anak-anak bergegas mengumpulkan makanan dan uang tunai gratis di luar pabrik di kawasan industri kota pelabuhan selatan pada hari Jumat (30/3/2023).
Kala itu, pemilik bisnis sering membagikan uang tunai dan makanan selama bulan suci Islam, terutama kepada orang miskin. Sebuah laporan awal dari polisi mengatakan sembilan wanita, berusia antara 40 dan 80 tahun, dan tiga anak, berusia 10 hingga 15 tahun, meninggal dalam musibah itu.
Fida Janwari, seorang perwira polisi senior di lingkungan Kota Baldia di Karachi barat, mengatakan wanita miskin dengan anak-anak berbondong-bondong ke sebuah pabrik yang sedang membagikan sedekah.
“Kepanikan melanda dan orang-orang mulai berlarian,” katanya kepada AFP.
Jenazah enam wanita dan tiga anak dibawa ke rumah sakit negara bagian Abbasi Shaheed, kata juru bicara Muhammad Farraukh. Seorang relawan kemanusiaan mengatakan kepada AFP bahwa dua jenazah tambahan dikirim ke rumah sakit lain di kota itu.
Asma Ahmed, 30, mengatakan nenek dan keponakannya termasuk di antara yang tewas. “Setiap tahun kami datang ke pabrik untuk meminta zakat,” katanya.
“Mereka mulai memukuli para wanita dengan pentungan dan mendorong mereka,” tambah Ahmed. “Ada kekacauan di mana-mana.”
“Mengapa mereka memanggil kita jika mereka tidak bisa mengaturnya?” ujarnya.
Janwari mengatakan tiga karyawan pabrik ditangkap setelah gagal melapor kepada pihak kepolisi tentang kegiatan pembagian sedekah untuk mengatur pengendalian massa.
Pekan lalu, pada hari pertama Ramadhan — ketika umat Islam memberikan sumbangan kepada orang miskin — satu orang tewas dan delapan lainnya terluka dalam penyerbuan bantuan tepung di barat laut Pakistan.
Ekonimi Pakistan tertatih-tatih dalam beberapa dekade akibat salah urus keuangan dan kekacauan politik. Situasi ini diperparah oleh krisis energi global yang disebabkan oleh perang di Ukraina, banjir monsun yang melumpuhkan tahun lalu yang menenggelamkan sepertiga wilayah negara itu.
Negara Asia Selatan — rumah bagi 220 juta jiwa ini — terlilit utang dan harus memberlakukan reformasi pajak yang keras dan mendorong harga utilitas jika berharap untuk membuka tahap lain dari bail-out dengan IMF senilai $6,5 miliar dan menghindari gagal bayar.*