Hidayatullah.com– Ratusan warga Tunisia, hari Selasa (13/8/2024), berunjuk rasa di ibu kota Tunis guna menuntut pembebasan para wanita yang ditangkap karena mengkritik Presiden Kais Saied.
Sejak naik ke puncak kekuasaan pada tahun 2021 sejumlah pengkritik Saied, termasuk perempuan, telah ditangkap.
“Sayangnya, hari ini menjadi hari kemarahan bagi para wanita yang dipenjara karena pandangan politik mereka (dan) aktivisme mereka di masyarakat,” kata Karima Brini, pemimpin Asosiasi Wanita dan Kewarganegaraan, seperti dilansir AFP.
“Kami marah dan kami menuntut pembebasan para wanita yang ditahan.”
Chaima Issa, seorang tokoh oposisi dan pemimpin koalisi National Salvation Front yang juga pernah dipenjarakan karena mengkritik Saied, menyesalkan penangkapan dan kondisi di balik jeruji besi.
“Saya hanya bisa menyampaikan solidaritas untuk mereka, karena saya pernah mengalami apa yang sedang mereka alami,” katanya, saat bergabung dalam aksi unjuk rasa yang mempertemukan berbagai faksi dari berbagai aliran politik.
Para pendukung Free Destourian Party juga berkumpul di dekat Kementerian Perempuan Tunisia pada hari sebelumnya, menuntut pembebasan pemimpin partai itu, Abir Moussi, yang sudah dipenjara sejak bulan Oktober.
Dikenal kerap mengkritik Saied, Moussi dihukum penjara dua tahun pekan lalu, dua hari setelah menyerahkan berkas pendaftaran sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden yang dijadwalkan akan digelar pada 6 Oktober.
Dia dijatuhi vonis berdasarkan Dekrit 54, hukum yang diadakan oleh Saied pada 2022 guna memberantas “berita palsu”.
Pada bulan Juli, pengacara wanita Sonia Dahmani diganjar hukuman penjara satu tahun atas komentarnya tentang Tunisia ketika memberikan tanggapan terhadap klaim seorang penyiar televisi bahwa migran dari wilayah sub-Sahara berusaha untuk menetap di negara Tunisia.
Dia juga dihukum berdasarkan Dekrit 54 setelah pengadilan mengatakan komentar Dahmani merupakan tanggapan terhadap pernyataan Saied.
Pada bulan Mei, Saadia Mosbah, pimpinan asosiasi anti-rasisme Mnemty, ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan, beberapa jam setelah Saied mengecam organisasi-organisasi yang memberikan bantuan kepada migran dan menyebut mereka sebagai “pengkhianat dan tentara bayaran”.
Mosbah banyak membela hak-hak kaum migran sub-Sahara Afrika sejak tahun lalu setelah Saied mengatakan “gerombolan migran ilegal” menimbulkan ancaman demografis bagi Tunisia.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia baru-baru ini mengecam sikap otoriter pemerintah dan “pembatasan” kebebasan di Tunisia, tempat lahirnya perlawanan masyarakat sejumlah negara Arab terhadap pemerintah mereka yang dikenal sebagai “Arab Spring” .
Berusaha untuk mendapatkan masa jabatan kedua, Saied akan menghadapi dua penantang saja dalam pilpres tahun ini, setelah 14 calon presiden lain ditolak oleh otoritas pemilu dan yang lainnya ditangkapi.*