Hidayatullah.com—Pemerintah Suriah yang baru telah memperluas larangan barang masuk dari Iran, ‘Israel’, dan Rusia. Perkembangan ini menandai perubahan signifikan dalam hubungan luar negeri Suriah di bawah kepemimpinan Ahmad al-Sharra atau dikenal Abu Muhammad Al-Jaulani.
Alarabiyah mengutip Direktorat Jenderal Penyeberangan Darat dan Laut Suriah di saluran Telegram-nya bahwa otoritas tersebut mencatat bahwa, setelah jatuhnya rezim diktator Bashar al-Assad, Suriah telah menyaksikan masuknya berbagai barang impor ke pasar lokal.
Direktorat tersebut mengumumkan bahwa barang-barang dari Iran, ‘Israel’, dan Rusia akan disita jika ditemukan memasuki wilayah Suriah. Lembaga itu menyatakan bahwa keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan perintah dari Kementerian Keuangan Suriah tertanggal 6 Januari 2025.
Laporan terbaru juga mengungkapkan bahwa warga negara Iran dan Israel sekarang dilarang memasuki Suriah. Kebijakan ini pertama kali dilaporkan oleh Agence France-Presse (AFP), mengutip sumber bandara.
Turkish Airlines juga menerbitkan pembatasan masuk baru di situs web resminya, yang mengonfirmasi larangan tersebut.
Larangan tersebut mengikuti perubahan dramatis dalam lanskap politik Suriah setelah dipegang kelompok oposisi, yang dipimpin Hay’ah Tahrir Al-Syam, melancarkan serangkaian serangan mendadak di Suriah barat laut pada 27 November 2024.
Pada 8 Desember 2024, mereka telah memasuki Damaskus, yang secara efektif mengakhiri kekuasaan rezim otoritas dan membuat Bashar al-Assad melarikan diri.
Sebelum ini, pemerintahan transisi Suriah, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Menteri Luar Negeri Asad Al-Shibani, menuduh Iran mengejar “ambisi yang merusak” di Suriah.
Sementara pemerintahan baru telah menyatakan tidak bermaksud untuk memutuskan semua hubungan dengan Teheran, mereka telah menyerukan “perubahan mendasar” dalam kebijakan Iran terhadap Suriah.
Dampak ekonomi Iran
Sebuah media Iran melaporan, jatuhnya Bashar al-Assad telah memiliki implikasi keuangan yang signifikan bagi Iran. Menurut dua mantan anggota parlemen Iran, lebih dari $30 miliar utang yang dimiliki rezim Assad kepada Iran telah hilang secara efektif.
Pukulan finansial ini menggarisbawahi risiko yang dihadapi Teheran karena pengaruhnya di Suriah berkurang di bawah kepemimpinan baru.
Secara khusus, toko-toko di ibu kota, Damaskus, sekarang dipenuhi dengan berbagai barang, mulai dari air minum kemasan Turki dan produk makanan Saudi hingga cokelat seperti Twix dan Snickers, serta Pepsi dan minuman merek internasional lainnya.
Untuk mendukung perekonomian, pemerintah baru telah mengumumkan pengenalan dolar di negara itu dan menyetujui serangkaian tarif bea cukai terpadu baru, yang akan dikurangi sebesar 50-60%.
Mereka juga menjelaskan bahwa keputusan tersebut bertujuan untuk memfasilitasi impor guna mendukung produsen lokal sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan merangsang industri.
Perlu dicatat bahwa sekitar seminggu yang lalu, Perwakilan Tinggi UE untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Kaja Kallas, menyatakan bahwa pada akhir Januari, para menteri luar negeri UE akan mengadakan pertemuan di Brussels.
Selama pertemuan tersebut, mereka diharapkan membahas kemungkinan pencabutan sanksi terhadap Suriah.
Sementara hubungan dengan Teheran masih dalam pengawasan, pelarangan barang dan larangan terhadap warga negara Iran menyoroti dorongan yang lebih luas oleh pemerintah transisi untuk menjauhkan diri dari campur tangan asing yang dirasakan.
Peristiwa yang sedang berlangsung di Suriah ini mencerminkan titik balik yang kritis, dengan implikasi yang signifikan bagi aliansi masa depan negara tersebut dan stabilitas regional.*