Hidayatullah.com—Islamofobia bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan bagian dari strategi kekuatan dunia saat ini, yang didominasi oleh negara-negara Barat seperti Amerika dan Inggris.
“Kita harus memahami bahwa islamofobia pasti dibuat oleh kekuatan dunia saat ini. Jika kita bertanya siapa yang membuatnya dan mengapa terjadi, jawabannya pasti berkaitan dengan kekuatan dunia saat ini, yaitu Amerika dan Inggris,” ujar Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Dhani Ahmad Prasetyo.
Pernyataan ini disampaikan saat dialog online bertajuk “Say No to Islamophobia, Ahmad Dhani F-Gerindra: Hapus Dana Anti Terorisme dan Radikalisme untuk BNPT” dalam “KBA Talk”, Senin (17/3/2025).
Ia mengatakan, Amerika dan Inggris adalah penguasa dunia yang nyata saat ini, sehingga kehadiran islamofobia pasti tidak lepas dari pengaruh mereka, katanya.
Meski demikian, bukan rakyat Amerika atau Inggris yang bertanggung jawab, melainkan pemerintahan dan kebijakan politik mereka.
Baik Partai Demokrat maupun Partai Republik di Amerika, menurutnya, memiliki agenda yang sama dalam mempertahankan dominasi global, termasuk melalui penyebaran Islamofobia.
“Ketika kita berbicara soal Amerika dan Inggris, kita berbicara tentang pemerintahannya, bukan bangsanya. Karena kebijakan bisa berubah, tetapi isu islamofobia tetap menjadi perhatian mereka, baik Partai Demokrat maupun Partai Republik di Amerika,” ujar dia.
Suami Raden Terry Tantri Wulansari atau lebih popular dengan nama Mulwan Jamilah ini mengatakan, Islamofobia ini adalah gerakan atau teori yang dibuat oleh kekuatan dunia saat ini.
“Jika kita melihat sejarah, sebelum dunia dikuasai oleh Barat, ada banyak kekuatan besar sebelumnya,” katanya.
Ia kemudian menjelaskan, seribu tahun sebelum Masehi, ada Kerajaan Israel dengan Raja Sulaiman AS. Kemudian, sekitar 600 SM, dominasi beralih ke Babilonia dengan Nebukadnezar.
Setelah itu, sekitar 500 SM, Persia dengan Cyrus the Great menguasai dunia. Kemudian, Persia dikalahkan oleh Alexander The Great dari Makedonia, yang lalu melahirkan Kekaisaran Romawi.
Dhani juga menyoroti bahwa sejarah dunia telah menunjukkan adanya pergeseran kekuatan dari satu peradaban ke peradaban lain. Dari Kerajaan Israel pada 1000 SM, Babilonia, Persia, Yunani dengan Alexander The Great, Romawi, hingga munculnya Islam dengan Nabi Muhammad dan kekhalifahan setelahnya.
Ia melanjutkan, pada masa kelahiran Nabi Isa AS, sekitar 0-30 Masehi, dunia masih dikuasai oleh Romawi. Kekaisaran ini terus berlanjut hingga zaman Nabi Muhammad SAW, yang lahir pada 571 M.
Setelah Nabi wafat, muncul kekuatan Islam baru dengan Dinasti Muawiyah, Abbasiyah, hingga Kesultanan Utsmani (Ottoman). Puncaknya adalah ketika Sultan Mehmed II (Sultan Muhammad Al-Fatih) menaklukkan Konstantinopel pada 1453.
Ia juga menyinggung sejarah kejayaan Islam, dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman), yang berkuasa selama lebih dari 800 tahun hingga runtuh pada tahun 1923.
Sejak saat itu, kekuatan Barat mulai meredup dan dominasi Islam berlangsung cukup lama, dari era Abbasiyah hingga runtuhnya Ottoman pada 1923.
Inilah yang menjadi penyebab lahirnya islamofobia di dunia Barat. Saat ini, dunia dikuasai oleh Barat, dan mereka tentu tidak ingin Islam kembali berkuasa.
“Ketika kita berbicara tentang islamofobia, yang paling ditakuti bukanlah Islam sebagai agama atau spiritualisme, tetapi Islam sebagai ideologi. Barat memahami sejarah dan menyadari bagaimana kuatnya Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman. Kesadaran ini terlihat bahkan dalam film Hollywood seperti Dracula Untold, yang menggambarkan hebatnya pasukan Ottoman,” ulasnya.
Ia juga membandingkan fenomena ini dengan sejarah Kekaisaran Romawi yang dulu menindas pengikut Nabi Isa, tetapi akhirnya justru menjadikan agama Nasrani sebagai agama resmi.
Dhani meyakini bahwa sejarah bisa berulang—suatu hari nanti, Inggris dan Amerika yang saat ini mendominasi dunia mungkin justru akan berperan dalam membesarkan Islam.
“Saya pribadi yakin bahwa Islam akan semakin besar, dan yang justru akan membesarkannya adalah Inggris dan Amerika. Mungkin dalam 50 atau 100 tahun ke depan, sejarah akan berulang seperti ketika Romawi menyebarkan Nasrani, kali ini giliran Barat yang menyebarkan Islam,” ujarnya.
Ahmad Dhani menyoroti pentingnya menolak Islamofobia dan berharap peringatan ini bisa lebih besar dan masif di tahun-tahun mendatang. Ia menekankan perlunya strategi dan rencana konkret untuk mengurangi Islamofobia di Indonesia, yang tidak hanya menghinggapi rakyat biasa tetapi juga orang-orang kaya, tokoh penting, bahkan pejabat negara.
“Saya mengusulkan agar kita memperingati Hari Internasional Anti-Islamofobia setiap tahun, tidak hanya dengan webinar, tetapi juga dengan acara tatap muka, silaturahmi, dan peringatan yang lebih besar. Mumpung kita punya Wakil Menteri Luar Negeri yang peduli dengan isu ini, kita bisa merancang strategi untuk mengurangi islamofobia di Indonesia. Ini bukan hanya masalah rakyat, tetapi juga menyangkut para pemimpin, orang kaya, dan pejabat negara,” katanya.
Ahmad Dhani mengungkapkan bahwa perhatiannya terhadap Islamofobia mulai meningkat sejak Pilkada DKI 2016. Ia terus mempelajari Islam, baik dari segi fikih, tasawuf, maupun sejarah, karena menurutnya, pemahaman Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban manusia.
“Islam memang menjadi perhatian saya, meskipun saya hanya lulusan SMA dan tidak pernah kuliah, tetapi saya terus belajar Islam sampai sekarang. Saya tidak pernah berhenti belajar Islam, bahkan sebelum tidur pun saya selalu belajar tentang Islam, baik dari segi fikih, tasawuf, maupun sejarahnya,” ujar pentolan Band Dewa-19 ini.
Islamofobia Partai Politik Islam
Ia juga menyoroti bahwa Islamofobia tidak hanya dikampanyekan melalui isu terorisme, tetapi juga melalui lobi-lobi politik.
Menurutnya, sejak 2004 terlihat adanya upaya mengerdilkan kekuatan politik Islam, seperti yang dialami PKS dan PPP yang kini tidak lagi berada di parlemen yang dilihatnya sebagai strategi global untuk melemahkan partai Islam di Indonesia.
“Kita dapat melihat bagaimana partai-partai Islam mengalami pelemahan. Contohnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada Pemilu 2004 memperoleh suara besar, namun kemudian mengalami pengerdilan. Hal serupa terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini tidak lagi masuk parlemen pada Pemilu 2024. Jika tren ini terus berlanjut, siapa yang akan hilang pada 2029? Ini adalah strategi untuk memastikan Indonesia tidak memiliki partai Islam yang kuat,” katanya.
Dhani menyatakan bahwa ia tidak percaya pada narasi terorisme dan radikalisme yang sering dikaitkan dengan Islam.
Ia menegaskan bahwa dalam bahasa Arab, tidak ada istilah “terorisme” atau “radikalisme,” sehingga menurutnya, konsep tersebut hanyalah propaganda yang diciptakan untuk mencitrakan Islam secara negatif.
Ia juga menyoroti bahwa sebelum peristiwa 9/11 pada 2001, Indonesia tidak memiliki sejarah terorisme seperti sekarang. Setelah tragedi tersebut, muncul bom Bali 2002 dan serangkaian serangan lainnya, yang menurutnya adalah bagian dari skenario global untuk menciptakan ketakutan terhadap Islam.
Dhani juga mempertanyakan mengapa dalam kasus seperti dugaan penistaan agama oleh Ahok, yang memicu kemarahan umat Islam, tidak ada aksi terorisme yang muncul. Hal ini semakin memperkuat keyakinannya bahwa terorisme hanyalah rekayasa pihak tertentu.
Sebagai kesimpulan, ia menjelaskan bahwa Islam memiliki tiga aspek utama: sebagai agama, sebagai spiritualitas, dan sebagai ideologi.
Islam sebagai ideologi sering kali dianggap sebagai ancaman bagi kapitalisme dan komunisme, sehingga ada upaya untuk membendung pertumbuhannya.
Acara dihadiri Bahtiar Nasir (UBN), Wamenlu Anis Mata, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Abbas, dan Desi Ratnasari dari Fraksi PAN.*