Hidayatullah.com | DALAM postingan ustadz maupun kajian Islam Youtube, kita akan menemukan dua jenis komentar; positif dan negatif.
Contoh komentar positif;
“Barakallahu fikeum, ustadz.”
“Masyaallah, tabarakallah, sungguh bermanfaat.”
“Ane suka, nih nyang begini.”
“Simak, nih (ngetag temennya).”
“Izin share, ustadz…”
“Menampar diriku yang penuh dosa.”
“Semoga gurunda selalu sehat.”
Dan lain sebagainya.
Adapun komentar negatifnya sangat beragam, tergantung kondisi komentatornya;
Netizen yang tersinggung, “Ngomong doang mah gampang.”
Netizen beda jamaah atau beda organisasi, “Begini, nih, kalau belajarnya ngga kepada masyayikh yang rekomended.”
Netizen yang aslinya anak kecil dan biasa ngomong sekenanya:
“Ah, si **** (nyebutin nama ustadz dengan julukan nggak sopan) emang sukanya ngibul, dapet amplop berapa habis ngisi kajian?”
Netizen korban politik, “Ustadz pendukung kampret emang sama aja di mana-mana….”
Netizen pembenci poligami, “Kapan nyusul si itu, katanya ngamanin janda malah ngaiwinin daun muda.”
Netizen pemuja golongannya, “Ngaji kl ngga sama kyai saya emang kurang ya….”
Netizen tukang debat, mengajak berdebat komentator lain.
Netizen pengemis, tiap kali ada postingan ustadz, komennya minta donasi bahkan beras.
Netizen yang sok pintar, “Belajar lagi deh, di kitab ini disebutkan begini-begini….bacaanmu kurang jauh, stad.”
Netizen penggila nahwu, “Aelah, i’rab masih belepotan udah belagu nukil kitab ini itu.”
Komen-komen di atas hanyalah fiktif, tapi insyaallah sesuai realitas.
Mengapa?
Mengapa orang-orang di dunia maya, khususnya di media sosial, lebih sering berkata kasar dan tak beretika dibanding saat di dunia nyata?
Para pakar menyebutnya dengan Online Disinhibition Effect. Fenomena berupa perilaku seseorang yang berbeda saat berkomunikasi di dunia maya dibanding saat di dunia nyata. Perilaku ini melahirkan toxic disinhibition, perilaku buruk saat berada di dunia maya.
Penyebabnya, saat di dunia maya, orang merasa menjadi individu berbeda. Mereka menutupi atau memanipulasi identitas mereka, baik sebagian atau bahkan keseluruhan. Mulai dari mengganti nama, memasang foto palsu, mengubah status dan domisili, dan lain sebagainya.
Dengan begitu, mereka merasa invisible, tidak terlihat hingga lebih bebas mengekspresikan diri. Muncullah disasosiasi imajinasi diri. Orang merasa menjadi pribadi yang berbeda saat di dunia maya dan merasa tidak akan ada yang memperhatikan hal itu. Akibatnya, beberapa orang seperti mendapat pembenaran untuk menampakkan sisi buruk mereka.
Dan karena hal ini pula, manusia di dunia maya cenderung memandang orang lain sebagai individu yang setara. Ini karena kebanyakan orang memang sengaja menutupi atribut dirinya. Status seperti jabatan, ketokohan, gelar, dan umur, disembunyikan. Akibatnya, tata krama pun tidak diterapkan. Yang muda bicara seenaknya kepada yang sebenarnya lebih tua. Yang rendah ilmunya berani merendahkan yang lebih tinggi ilmu dan kemampuannya.
Komunikasi di media sosial jadi sering kacau, kasar, minim adab dan kesopanan. Ditambah lagi, ada semacam kesenjangan dalam komunikasi media sosial;
Pertama, kesenjangan visual di mana setiap pelaku komunikasi tidak saling menatap, tidak bisa melihat gestur dan mimik lawan bicara. Respons pun sering keliru karena hanya berdasar teks tanpa ekspresi. Emoji memang sedikit membantu tapi tidak signifikan karena kenyataannya emoji sering kontradiktif dengan kondisi aslinya. Aslinya marah tapi emojinya senyum. Tentunya, dikecualikan beberapa media sosial yang menggunakan video sebagai media komunikasi langsung.
Kedua, dari segi waktu, komunikasi media sosial asinkron karena tidak langsung berbalas. Ada jarak antar percakapan. Jaraknya bisa detik, menit dan bahkan hari. Orang bisa membalas sebuah chat atau komen kapan pun dia mau, tidak harus segera. Jarak inilah yang sering membuat mood seseorang berubah hingga mengubah emosi pada jawabannya.
Semua ini berbeda dengan dunia nyata. Seseorang bakal tampil sebagai dirinya. Lengkap dengan wajah, penampilan bahkan statusnya. Sempurna sebagaimana dia dikenal oleh orang lain.
Apa pun respons dan sikapnya pada sesuatu, akan langsung melekat pada diri dan identitasnya. Langsung berpengaruh pada status bahkan berbagai hal yang melingkupinya; keluarga, komunitas dan masyarakat.
Pola komunikasi dunia nyata juga spontan. Tidak ada jarak waktu serta dibarengi gestur dan mimik yang kadang lebih mampu menunjukkan maksud dibanding kata-kata.
Inilah yang membuat orang akan berpikir dua kali untuk berkata kasar maupun tidak sopan di dunia nyata. Aspek-aspek ini lebih bisa membuat seseorang menahan diri dan menata emosi.
Mari kita buktikan, apa iya para komentator negatif seperti contoh di atas berani berkata kasar seperti komennya di media sosial jika berhadapan langsung dengan sang ustadz?
Besar kemungkinan, tidak berani!
Krisis Adab
Begitulah. Interaksi dunia maya memang sering mengesampingkan tata krama dan adab kesopanan. Sayangnya, krisis ini juga sering menjangkit orang-orang (akun-akun) aktivis muslim. Orang ngaji. Orang-orang muslim yang baik di dunia nyata maupun maya memiliki concern yang tinggi terhadap Islam dan thalabul ilmi. Sebut saja ‘santri online’.
Ngaji online itu baik. Mendengarkan kajian online atau offline, baca buku pdf atau cetak, secara substansi sama saja. Asal menyimak dengan baik, pasti ada ilmu dan faedah yang diperoleh. Hanya saja, meskipun online, seharusnya tetap menerapkan adab dan tata krama sebagai thalibul ilmi.
Sayangnya, beberapa ‘santri online’ suka pilah-pilih dalam beradab. Terhadap tokoh-tokoh agama yang seafiliasi atau sefrekuensi, hormatnya setengah mati. Tapi kepada pendakwah, kyai atau ulama yang beda organisasi, bersikap kurang sopan bahkan memberi komen yang menyakiti hati.
Sebenarnya, keprihatinan terhadap krisis adab seperti ini sudah dirasakan oleh para ulama dan praktisi pendidikan. Tidak hanya di media sosial, di dunia pendidikan secara umum bahkan pesantren sekalipun, tidak sedikit yang mengeluhkan menurunnya adab para penuntut ilmu terhadap gurunya. Jauh berbeda dengan para gambaran adab dan akhlak para ulama di zaman dahulu. Ulama di zaman dahulu sangat hormat dan takzim kepada guru-gurunya.
Beliau Prof. Syed Naquib al-Attas menarasikan fenomena ini sebagai “Loss of Adab”. Beliau menjelaskan bahwa Loss of Adab adalah:
The loss of discipline – the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society and Community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical intellectual, and spiritual capacities and potentials; the recognition and acknowledgement of the fact that knowledge and being are ordered hierarchically.
Semacam hilangnya kedisiplinan ragawi, intelektualitas dan spiritualitas dari seseorang untuk menyadari posisi dirinya secara tepat dan menempatkan orang lain secara proporsional, pada ranah individu dan masyarakat.
Padahal belajar agama bukan sekadar menambah pengetahuan saja tapi sekaligus untuk membentuk kepribadian dan akhlak. Semakin banyak ilmu agamanya, sudah seharusnya semakin luhur akhlak dan perilakunya.
Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk, merendah dan hormat kepada yang lain. Bukan seperti paralon yang diisi semen dan batu, semakin diisi, semakin tegak dan congkak.
Lebih dari itu, berkahnya ilmu agama akan dapat dirasakan jika saat mencarinya, seseorang menerapkan adab yang tinggi kepada guru-gurunya.
Makanya, sayidina Umar bin al-Khaththab menasihatkan;
تَأَدَّبُوْا ثُمَّ تَعَلَّمُوْا
“Hiasi diri dengan adab dulu, barulah belajar ilmu.”
Ilmu agama ibarat air yang jernih, dan adab adalah sifat bersih sebuah gelas. Air jernih yang dituangkan ke dalam gelas yang bersih akan jernih dan bermanfaat. Sementara hilangnya adab adalah hilangnya sifat bersih dari gelas. Sejernih apa pun air, kalo wadah penampungnya kotor, akan ikut kotor dan terlihat buruk.
Berkahnya Ilmu dari Tingginya Adab
Mengapa para ulama jaman dahulu ilmunya sangat berkah? Karena selain ikhlas, mereka menghiasi diri dengan adab yang tinggi saat belajar ilmu syar’i.
Ilmu mereka berkah; awet melintasi ruang dan waktu. Masih dibaca banyak orang sampai sekarang. Manfaatnya langgeng. Dan lebih penting dari itu, ilmu mereka mampu membuat diri mereka sendiri menjadi pribadi yang mulia dan memberi manfaat kepada siapa saja yang mempelajarinya.
Ini karena mereka menerapkan adab yang tinggi saat mencarinya. Bagi mereka, adab adalah prioritas utama. Mereka menghiasi dan membersihkan diri dengan adab, barulah siap menerima ilmu.
Seorang salaf berkata,
نَحْنُ إِلَى قَلِيْلٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْعِلْمِ
“Secuil adab lebih kita butuhkan daripada segudang ilmu.” (Madarij as-Salikin, 2/376)
Al-Imam Ibnu Mubarak berkata,
طَلَبْتُ الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً؛ وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً؛ وَكَانُوْا يَطْلُبُوْنَ الْأَدَبَ قَبْلَ الْعِلْمِ
“Saya belajar adab selama 30 tahun dan lalu mempelajari ilmu selama 20 tahun. Orang-orang (jaman dahulu) belajar adab sebelum memperdalam ilmu.” (Ghayah an-Nihayah fi Thabaqah al-Qurra’, 1/198)
Yahya bin al-Anbari berkata,
عِلْمٌ بِلاَ أَدَبٍ كَنَارٍ بِلَا حَطَبٍ، وَأَدَبٌ بِلَا عِلْمٍ كَجِسْمٍ بِلَا رُوْحٍ
“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu, sedangkan adab tanpa ilmu seperti raga tanpa jiwa.”
Adab yang tinggi tidak hanya mereka terapkan kepada guru mereka saja, akan tetapi sebelum itu adab kepada Allah, Rasul, adab kepada ilmu, juga buku. Bahkan kepada orang yang lebih muda dan lebih sedikit ilmunya, mereka tetap menerapkan adab dan tata krama yang mulia.
Imam Atha’ berkata, “Sungguh, ketika aku mendengar sebuah hadits dari seseorang, sedangkan aku lebih mengetahui hadits tersebut maka aku tunjukkan diriku kepadanya seolah aku belum pernah mengetahuinya sama sekali.”
Detail Adab para Ulama
Adab yang diterapkan para ulama di jaman dahulu sangat tinggi dan detail. Kalau kita baca bagaimana standar ulama jaman dahulu dalam mencari ilmu, kita akan merasa masih sangat kurang ajar kepada guru-guru kita.
Dalam kitab Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim, Imam Badruddin Ibnu Jamaah menukil perkataan sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
“Di antara hak seorang alim (guru) adalah hendaknya engkau mengucapkan salam kepada para hadirin secara umum dan mengkhususkan ucapan penghormatan untuk guru, duduk di hadapannya, tidak menunjuk sesuatu dengan tanganmu, tidak melihat kepada selainnya, dan tidak mengatakan ‘pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda’, tidak menggibah seseorang di hadapannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya.”
Imam Ali melanjutkan, “Jika guru melakukan suatu kesalahan, selayaknya engkau memaklumi alasannya. Hendaklah engkau menghormatinya karena Allah Ta‘ala. Jika guru mempunyai hajat, hendaklah engkau menjadi orang pertama yang membantunya sebelum orang lain.”
“Jangan berbisik-bisik dalam majelisnya. Jangan menarik pakaiannya. Jangan terus-terusan bertanya jika sang guru sedang tak berkenan. Janganlah kamu merasa puas dengan lamanya berguru kepadanya. Guru itu ibarat pohon kurma, engkau hanya perlu menunggu kapan buahnya akan jatuh.”
Atau kalau kita mau tahu seperti apa detail adab para ulama jaman dahulu saat belajar, kita bisa membaca salah satu kitab yang mengupas tentang adab secara gamblang. Namanya kitab Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’llim. Kitab tulisan syaikh Badruddin Ibnu Jamaah (w. 773 H) ini sangat rinci dalam membahas adab guru dan murid.
Alhamdulillah, versi terjemahan kitab Tadzkiratus Sami’ ini diterbitkan oleh penerbit Taujih (imprint dari penerbit Zaduna) dengan kualitas terjemah yang insyaallah akurat.
Kesempatan untuk menjadi reseller penjualan buku ini sangat terbuka lebar bagi pembaca sekalian. Silakan langsung daftar di sini: https://bit.ly/3389Lqk
Kembali ke konten kitab Tadzkiratus Sami’, dalam buku ini sampai dibahas bagaimana adab yang baik saat menyerahkan kertas, pena, buku, atau benda lain kepada guru.
Misalnya saja, jika seorang murid mau menyerahkan sebuah kertas pertanyaan yang tertulis dalam secarik kertas, maka sebaiknya ia membuka dulu kertasnya, baru menyerahkannya kepada guru. Tujuannya agar guru tidak kesulitan dan sebagai takzim serta khidmat murid kepada gurunya.
Sedetail itu, seluhur itu perilaku yang menjadi standar para pencari ilmu di zaman dahulu. Tidak heran kalau dari era mereka lahirlah para ulama-ulama besar dan juga para pemimpin-pemimpin Islam yang pengaruhnya luar biasa pada dunia.
Dari mana fondasinya? Dari adab dan akhlak.
Hari ini, kita benar-benar butuh terhadap adab dan akhlak, khususnya saat mencari ilmu dan belajar agama. Offline maupun online tidak ada bedanya.
Jadi, mari hormati guru-guru, asatidz, kyai yang sudah berkenan menyebarkan ilmunya di internet. Bagaimana pun mereka telah bersedia membagikan ilmu dan faedah secara cuma-cuma hingga mudah kita akses.
Akun sosmed anonim dan poto profil palsu bukan alasan bisa berbuat seenaknya. Malaikat pencatat amal paham betul siapa diri kita sebenarnya. Perbedaan jamaah dan organisasi juga tidak perlu jadi pembenaran bolehnya bersikap kurang ajar.
Mari kita hiasi diri kita dengan adab dan akhlak yang baik. Semoga ngaji kita bisa lebih berkah dan bermanfaat, menjadikan kita pribadi yang shalih dan layak mendapat ridha Allah. Amin. (Taujih)