Hidayatullah.com—Sering kita dengar pernyataan “jangan bawa-bawa agama dalam politik”. Pernyataan ini seolah-olah melarang agama ikut ambil bagian dalam dunia politik. Padahal itu tidaklah benar.
Demikian salah satu kesimpulan H Mutiara Fahmi, MA dalam pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh, Kuphi Luwak, Jeulingkee, Banda Aceh, Rabu, 26 Maret 2014.
“Dikotomi antara politik dan agama sangat kentara dalam masyarakat Aceh atau Indonesia umumnya. Semua ini pada dasarnya disebabkan oleh dikotomi pendidikan, yaitu dengan adanya pemisahan pendidikan umum dan pendidikan agama. Imbas dari dikotomi tersebut telah berhasil mengakar dalam generasi Islam hari ini, antara Islam dan politik tidak ada kaitannya,”demikian penjelasannya.
Menurutnya, banyak dalil yang bersumber dari ayat dan hadist yang membicarakan masalah politik. Begitu juga secara historis juga banyak sekali menceritakan tentang keurgensian politik dalam Islam.
Dalam kitab Al-Ahkam as-Sultaniyyah karya Al-Mawaridi menjelaskan, fungsi khalifah penganti nabi bukan melanjutkan kenabian tapi mempertahankan eksitensi Islam dan mengatur pemerintahan untuk mensejahterkan rakyat.
Para ulama hanya terbagi dua golongan dalam menyikapi pentingnya fikih siyasah atau politik Islam dalam bernegara.
Pendapat pertama adalah mubah, namun kemubahan di sini para ulama menganalogikan tingkat kemubahan sama halnya dengan makan, artinya kemubahannya tidak mutlak tapi terkait selama tidak menimbulkan kemudharatan, jika sudah menimbulkan kemudharatan akan berubah kepada wajib.
Pendapat kedua adalah wajib. Para ulama yang berpendapat wajib berhujjah bahwa tidak mungkin menerapkan hukum Islam seperti, hudud dan sejumlah hukum jinayat lainya tidak mungkin ditegakkan oleh individu melainkan oleh pemerintah yang sah.
Oleh karena demikian agama Islam melarang bagi korban pencurian memotong tangan pencuri, keluarga korban pembunuhan dilarang mengambil qishas sendiri dan merajam orang yang sudah terbukti berzina oleh siapa saja yang melihat perzinahan.
Menurutnya, semua itu wewenang pemerintah Islam bukan kewenangan individu. Esensinya, antara politik dengan Islam ibarat dua sisi mata uang yang bisa dipisahkan.
Jabatan politik dalam Islam
Ia juga menyinggung tujuan meraih jabatan politik dalam Islam. Di mana merealisasikan penghambaan kita kepada sang khaliq atau dengan kata lain meraih jabatan politik adalah bagian dari beribadah kepada Allah.
“Tentunya, jika dipahami dengan baik, bahwa jabatan politik adalah sebagai media untuk mencapai keridhaan Allah. Maka kita tidak akan janji-janji palsu, sikat-sikut, saling menumpahkan darah, memutuskan silaturahmi serta menghalalkan segala cara dalam meraih jabatan yang pada hakikatnya adalah amanah. Sungguh ironis meraih amanah yang mulai jalan yang kotor,” jelas Mutiara Fahmi sebagai Dewan Musytasar Yayasan Tgk Hasan Krueng Kalee dan dosen Politik Islam di UIN- Ar-Raniry ini.
Baiat dan Pemilu
Di depan para wartawan, ia juga menjelaskan kebolehan adanya multi partai dalam Islam. Dalam sejarah Islam ketika wafatnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihu Wassalam para sahabat terpilah-pilah dalam berbagai kelompok untuk mendukung khalifah dari sukunya masing-masing.
Kaum Anshar mengkampayekan ketokohan sahabat-sahabat yang layak menurut meraka, begitu juga kaum Muhajirin, Bani Sa’adah dan suku-suku lain. Ini adalah bentuk kampanye yang kita kenal dalam sistem Pemilu yang modern sekalipun tehnis dan media yang digunakan seadanya.
Begitu juga pemungutan suara di Tempat Pemilihan Suara (TPS) itu sama halnya pembaiatan yang dilakukan secara perorang dan berkelompok datang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Mencoblos suara di zaman sekarang bisa dianalogikan dengan baiat zaman dahulu. Karena tidak memungkin untuk kita datang ke Jakarta untuk berjabat tangan dengan presiden pilihan kita. Yang terpenting di sini adalah subtansinya ada. Soal mekanisme itu disesuaikan menurut zaman, demikian papar kandidat doctor di Cairo University ini.
Perlu juga diingat, para khalifah dulu tidak mengemis jabatan. Tapi mereka diberikan jabatan. Lalu timbul pertayaan, apakah mendaftarkan diri jadi caleg lalu mengajak orang untuk memilihnya sebagai wakil/pemimpin itu termasuk meminta jabatan? Itu jelas tidak. Karena sistem negara modern melalui KPU/KIP sudah membuka peluang kepada warga negara yang terbaik untuk menjadi pemimpin. Jadi sudah jelas bukan mengemis kecuali ketika masa Pemilu sudah berakhir kita datang ke KPU untuk meminta jadi wakil rakyat/pemimpin itu baru nama mengemis.*/kiriman Mustafa Husen, (Aceh)