Hidayatullah.com—Bertempat di Aula Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis, 20 November 2014 perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL kesebelas kembali dimulai.
Acara dihadiri oleh beberapa perwakilan aktivis dari lembaga dakwah berbasis kampus dan Chapter ITJ di sekitar Jabodetabek.
Perkuliahan kesebelas ini mengangkat tema “Feminisme” dengan menghadirkan Akmal Sjafril, M.Pd.I sebagai narasumber.
Dalam uraiannya, Akmal menjelaskan definisi gender yang jelas berbeda dengan jenis kelamin sebagaimana yang dijelaskan dalam Islam. Penyimpangan kesetaraan gender saat ini telah digandrungi oleh beberapa orang yang mengaku sebagai cendikiawan Muslim murni berasal dari Barat, bukan Islam.
“Islam telah jelas membedakan; yang laki-laki maskulin, yang perempun feminim. Jadi, sifat laki-laki dan perempuan sudah inheren dengan kelaminnya. Cara mendidiknyalah yang mengubah sifat tersebut dari fitrahnya,” ujar Akmal.
Sementara agama Islam telah menempatkan segalanya dengan jelas, Kristen justru sebaliknya.
Akmal juga mengungkapkan bahwa pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius yang membahas apakah perempuan itu manusia atau bukan.
“Bayangkan, seorang profesor Kristen masih memperdebatkan perempuan itu manusia atau bukan! Ini membuktikan bahwa konsep agama Kristen tidaklah tuntas, sehingga memunculkan perdebatan sengit dalam masalah yang sangat penting seperti ini,” ungkap penulis buku Islam Liberal 101 ini.
Sebagaimana sekularisme di Barat, feminisme juga lahir karena tiga faktor yang berkaitan dengan agama Kristen, yaitu problem sejarah Kristen, problem teks Bibel dan problem teologi Kristen.
Akibat dari feminisme ini beberapa orang di Barat membuat gerakan anti lelaki yang sangat radikal. “Feminisme ini bukan hanya menjunjung tinggi hak-hak perempuan, tapi juga membuat ‘gerakan anti lelaki’. Bahkan, dalam suatu kelompok feminis di Barat, ada yang berpendapat bahwa jumlah laki-laki harus dikurangi dan dipertahankan pada angka 10% dari jumlah populasi manusia di dunia. Inilah wajah pemikiran liberal Barat, akibat dari tak ada kejelasan yang pasti dari agamanya,” ujar Akmal yang juga peneliti di INSISTS ini.
Skibat dari gerakan feminisme ini, maka lahirlah faham relativisme, karena feminisme itu sendiri dikembangkan menurut definisi masing-masing penganutnya. Banyak perempuan yang justru menjadi korban karena ketidakpahaman mendefinisikan feminisme ini.
“Feminisme menjauhkan perempuan dari keluarga, membuat mereka menganggap kewajiban-kewajibannya adalah beban, bahkan penindasan. Lebih dari lima puluh juta bayi tewas akibat aborsi. Aborsi dianggap masalah ringan bagi kaum feminis, sebab mereka menganggap bahwa janin atau bayi yang ada di dalam tubuhnya adalah miliknya, karena itu terserah dia mau melakukan apapun terhadap bayinya,” jelasnya.
Di akhir sesi perkuliahannya, Akmal kembali menengaskan bahwa paham feminisme ini dapat merusak struktur sosial dalam masyarakat, karena mempertentangkan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki. Saking kerasnya ‘persaingan’, sampai-sampai ada yang mengatakan tidak membutuhkan peran laki-laki lagi.
“Feminisme adalah salah satu elemen pemikiran yang lahir dari konsep gender yang dibangun oleh pemikiran sekuler Barat. Karena itu, paham ini tidak akan sejalan dengan pemikiran Islam,” ujar Akmal menutup penjelasannya.*/kiriman Adif Widhianto Fauzi (Jakarta)