Hidayatullah.com–Tantangan bagi umat Islam dalam bernegara adalah apabila mereka memegang komitmen kepada agamanya, maka mereka akan mendapatkan predikat sebagai fundamentalis, meskipun istilah fundamentalis sendiri tidak ada di dalam Islam.
“Orang yang mempunyai komitmen terhadap Islam, katakanlah orang-orang yang shaleh, yang memperjuangkan Islam, yang menegakkan kebenaran, yang melakukan amar makruf nahi mungkar tiba-tiba disebut dengan fundamentalis. Nah ini, kata fundamentalis saja di dalam Islam tidak ada. Ini salah satu tantangan kita bernegara seperti itu,” ujar Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil., dalam acara dialog interaktif bertema “Islam Dalam Ranah Kebangsaan” yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Pakistan.
Baca: Gus Hamid: Pancasila Banyak Dibajak untuk Kepentingan Politik
Dialog yang dihadiri puluhan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di International Islamic University Islamabad (IIUI) ini digelar di kawasan I10 sector Islamabad, Jumat malam, (15/12/2017).
Pimred Majalah ISLAMIA yang kerap disapa Gus Hamid ini sempat menyinggung Istilah “Islam radikal” yang sering dikutip kelompok yang terentu, di mana istilah itu tidak dikenal dalam terminologi Islam.
Menurutnya, pengistilahan tersebut adalah bagian dari ghazwul fikri (perang pemikiran) antara Islam dan ideologi-ideologi besar di dunia. Itulah yang membuatnya gigih untuk melakukan deliberalisasi.
“Islam radikal itu tidak ada terminologinya di dalam Islam. Orang yang menjalankan Islam dengan baik dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sekarang disebut radikal. Padahal di dalam Islam itu adalah orang yang shaleh. Ini termasuk pembagian dari ghazwul fikri, perang pemikiran antara ideologi-ideologi besar di dunia di mana Islam ini sekarang menjadi bulan-bulanan ideologi kontemporer. Itu yang selama ini saya lakukan dengan deliberalisasi atau melakukan proses counter attack terhadap liberalisasi pemikiran Islam,” jelasnya.
Baca: Hasyim: Liberalisasi Pemikiran Juga Melanggar Khittah NU
Selanjutnya Wakil Rektor Universitas Darussalam (UNIDA) ini juga menjelaskan bahwa ‘liberalisasi pemikiran Islam’ sangatlah membahayakan. Dan itu lebih bahaya daripada membunuh orang, dalam arti spiritual.
“Dan itu (liberalisasi pemikiran Islam) sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari ‘membunuh orang’. ‘Liberalisasi pemikiran’ adalah dekonstruksi syariah dan dekonstruksi akidah, berarti dia akan membunuh ribuan orang, membunuh dalam arti spiritual, membunuh orang yang selama ini beriman menjadi tidak beriman. Nah di sini, kalau kata-kata ini dikaitkan dengan takwil yukhrij al-hayya min al-mayyiti wa yukhrij al-mayyita min al-hayyi artinya bahwa mengafirkan orang itu sama dengan mematikan orang,” jelas pendiri Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) tersebut.*/Fakhruddin A (Pakistan)