Oleh: Adi Zulfikar
LAMAN berita Observer pada Bulan Maret 2017 merilis sebuah artikel dari Persatuan Pers Internasional yang dikeluarkan pada tahun 1986. Isinya menerangkan bahwa Ratu Elizabeth II, merupakan keturunan ke-43 dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Berita ini pun kemudian diterjemahkan dan dipublikasikan juga di laman nasional republika.co.id pada tanggal 5 Desember 2017.
Rilis ini didasarkan pada catatan silsilah keluarga kerajaan yang diterbitkan oleh Burke Peerage (BP). BP sendiri telah menerbitkan catatan geneologi silsilah keluarga kerajaan yang otoritatif selama lebih dari 190 tahun. Keterangan tersebut bermula saat Harold Brooks-Baker, Direktur Penerbit Burke saat itu, menulis untuk Perdana Menteri Margaret Thatcher agar memberikan keamanan yang lebih baik untuk keluarga kerajaan. Ia mengatakan bahwa keturunan keluarga kerajaan yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassallam tidak dapat diandalkan untuk selamanya melindungi keluarga kerajaan dari “teroris Islam”.
Brooks-Baker mengatakan bahwa Keluarga Kerajaan Inggris merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad melalui Raja-Raja Arab yang pernah menguasai Sevilla. Melalui pernikahan, darah mereka mengalir ke Raja-Raja Eropa seperti Portugal dan Castilla sampai ke Raja Edward IV pada abad 15.
Kemudian disebutkan bahwa “Kekhalifahan Bani Umayyah, Khalifah Arab yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad, memerintah lebih dari 15 Juta km persegi dari Kaukakus (Eurasia) sampai ke Semenanjung Iberia. Khilafah Bani Umayyah kemudian jatuh setelah Revolusi Abbasiyah (661-750 M). Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh Abu al-Qasim Muhammad Ibn Abbad yang diklaim oleh sejarawan sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam melalui Fatimah.
Dari al-Qasim inilah, para sejarawan Barat mempercayai Ratu Elizabeth memiliki darah dari Nabi. Al-Qasim menguasai Sevilla hingga wafat pada tahun 1042. Cucunya, al-Mu’tamid menguasai Cordoba pada 1071 sekaligus menjadi pemimpin terakhir Abbasiyah. Tahun 1091, Abbasiyah jatuh ke tangan Dinasti Murabithun dan putri al-Qasim yang bernama Zaida melarikan diri ke Istana Raja Alfonso VI, Raja Leon, Castilla dan Garcia. Ia kemudian masuk Agama Katolik, berganti nama menjadi Isabella, dan menikah dengan Alfonso. Dari Zaida ini lah kemudian lahir keturunan yang menikah dengan putra Raja Edward III dari Inggris dan dari keturunannya lah lahir Ratu Elizabeth.”
Empat Kekeliruan Fatal
Banyak kekeliruan dalam penjelasan di atas. Kesalahan pertama, setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasydin, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan terakhir Hasan bin Ali. Kemudian Muawiyyah membentuk Khilafah Umayyah. Baru pada tahun 750 M, Khilafah Umayyah jatuh dan digantikan oleh Khilafah Abbasiyyah.
Kesalahan kedua, Observer menyamakan Dinasti Abbasiyyah dengan Dinasti Bani Abbad. Padahal Abbasiyah dan Bani Abbad adalah dua dinasti yang berbeda.
Pendiri Khilafah Abbasiyyah adalah Abdullah as-Saffah bin Muhammad, keturunan Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Sementara Abu al-Qasim Muhammad bin Abbad adalah penguasa Sevilla dari Bani Abbad pada masa Thawaif, yaitu masa setelah Bani Umayyah tidak lagi berkuasa di Andalus.
Bani Abbad sendiri tidak pernah menjadi kerajaan besar seperti halnya Khilafah Umayyah atau Khilafah Abbasiyyah.
Kesalahan ketiga, berkaitan dengan Zaida yang disebut sebagai putri dari al-Qasim. Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, dalam Qishotul Andalusi: min al-Fath ila as-Suquth, justru menyebutkan bahwa Zaida adalah seorang budak yang dinikahi oleh al-Ma’mun, anak al-Mu’tamid. Ia membelot dan menikahi Alfonso VI setelah Sevilla dikuasai Murabhitun. Ini berarti Zaida bukan keturunan asli Bani Abbad, apalagi keturunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tidak mungkin ada yang berani memperbudak keluarga Rasulullah sementara masih banyak ulama dan ahli nasab di zaman tersebut.
Dalam rilis tersebut juga disebutkan silsilah lengkap Ratu Elizabeth hingga ke Hasan bin Ali karena Zaida memiliki nasab yang tersambung hingga ke Zahra binti Husain bin Hasan bin Ali. Klaim ini juga bermasalah.
Selain status Zaida yang sudah dijelaskan sebelumnya, Prof. Dr. Raghib as-Sirjani juga menuliskan bahwa Bani Abbad berasal dari keturunan Suku Lakhm (yaitu Athaf bin Nu’aim yang disebut kakek dari seluruh Bani Abbad). Tidak diceritakan adanya hubungan pernikahan antara suku Lakhm dengan anak keturunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang disebutkan dalam artikel bernama Zahra binti Husain.
Seandainya memang ada hubungan ini, pastilah akan dituliskan karena ini merupakan peristiwa penting dalam hubungan nasab. Asep Sobari, Peneliti Insists dan pendiri Sirah Community Indonesia (SCI), menyebutkan bahwa berdasarkan pendapat terkuat ahli nasab, dari 19 anak Hasan bin Ali, hanya 3 yang memiliki keturunan yaitu al-Hasan (al-Mutsanna) bin al-Hasan, Zayd bin al-Hasan, dan Umm Abdillah binti al-Hasan.
Sebagian ahli nasab lain yang meyakini al-Husain bin al-Hasan memiliki keturunan sekalipun tidak menyebut nama az-Zahra sebagai anak perempuannya.
Terakhir, Burke Peerage sebagai penerbit ternyata memiliki reputasi yang kurang baik. Laman Koran Independent dari Inggris mengutip pernyataan Antony Camp, Direktur Komunitas Geneologis, yang mengkritisi terbitan Burke Peerage.
Ia mengatakan “The World Book of Surname” hanyalah daftar alamat yang diambil dari daftar pemilihan umum, biasanya sudah kadaluarsa. Harold Brooks-Baker juga memiliki reputasi yang kurang baik. Laman Koran Berita Telegraph dari Inggris, menulis tentangnya sebagai seorang jurnalis yang sering salah. The Guardian pun menyebutnya sebagai seorang yang sok tahu.
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim tersebut masih simpang-siur alias kurang dapat dipercaya. Selain banyaknya kesalahan pada data yang disajikan, Burke Peerage dan direkturnya saat itu, Harold Brooks-Baker sendiri memiliki reputasi yang kurang baik. Wallahu ‘alam.*
Penulis Pegiat Sirah Community Indonesia