Hidayatullah.com– Ketika saya hendak memberikan air untuk orang lain, apakah saya bisa memberikannya tanpa ada air dalam botol minuman saya?
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Ida S Widayanti dalam acara Seminar ‘Mendidik Karakter dengan Karakter’ di Aula Sekolah Quantum Indonesia, Jalan Cimatis, Jatikarya, Bekasi, Jawa Barat, pekan kemarin.
Jawabannya tentu tidak bisa. Demikianlah dengan mendidik karakter pada anak. Kita tidak bisa menanamkan karakter yang baik pada anak, jika kita tak memiliki karakter yang baik pula.
Jika menginginkan anak yang memiliki karakter, maka sebagai orang tua harus mengimplementasikannya lebih dulu, lanjutnya.
Dibanding profesi lainnya, menurut penulis buku Mendidik Karakter dengan Karakter ini, orangtua adalah profesi yang paling tidak tersiapkan dengan ilmu pengetahuan. Akibatnya, orangtua harus belajar justru setelah mereka menjadi orangtua.
“Mengurus mesin saja butuh waktu empat tahun belajar dan jadi sarjana mesin,” ungkap Teh Ida, sapaan akrabnya.
Di hadapan puluhan guru peserta seminar, Ida mengajak untuk terus belajar tanpa henti sebagai orangtua.
Disebutkan, peran guru sama dengan orangtua, mereka hanya boleh berhenti belajar ketika sudah pensiun dari pekerjaannya.
“Problem keluarga dan mendidik terus berubah seiring arus zaman dan teknologi. Ini challenge (tantangan) bagi kita untuk terus belajar dan mengurangi kesalahan,” imbuh pegiat parenting yang sedang menempuh pendidikan doktoral di PTIQ Jakarta tersebut.
Menurut Ida, cerdas berkarakter itu terdiri dari tiga unsur yaitu rumah, lembaga pendidikan, dan lingkungan. Tiga hal itulah yang disebut mempengaruhi karakter anak.
“Karakter anak ditentukan pada masa awal usia anak. Ibarat spons, otak anak masa itu sanggup menyerap informasi apa saja,” ucap Ida kembali.
“Di masa itu, dibutuhkan didikan dan asuhan yang berkarakter dari orangtua dan lingkungannya,” jelas Ida.
Baca: Pakar Parenting Nabawi Kritik Media yang Menakuti Orangtua
Terakhir, Ida juga menerangkan pentingnya komunikasi dalam pendidikan dan keluarga.
Usia 0-7 tahun adalah usia dimana pikiran anak terbentuk melalui apa yang dilihat dan didengar.
Jika pada usia tersebut, lanjutnya, anak hanya mendengar kalimat negatif dari orangtua, maka itulah yang membentuk self-talk negatif pada diri anak.
“Jadinya timbul rasa minder dan tidak percaya diri anak. Self-talk negatif ini yang bikin anak sulit untuk maju,” ungkapnya.* Kiriman Arsyis Musyahadah, pegiat komunitas menulis PENA Depok