TUJUAN asuransi sangatlah mulia, karena bertujuan untuk tolong-menolong dalam kebaikan. Namun persoalan yang dipertikaikan lebih lanjut oleh para ulama adalah bagaimana instrumen yang akan mewujudkan niat baik dari asuransi tersebut; baik itu bentuk akad yang melandasinya, sistem pengelolaan dana, bentuk manajemen, dan lain sebagainya.
1. Ibnu Abidin, ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa asuransi adalah haram, karena uang setoran peserta (premi) tersebut adalah iltizam ma lam yazlam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib).
2. Muhammad Bakhti al-Muthi’i ( Mufti Mesir ) mengatakan bahwa akad asuransi yang menjamin atas harta benda pada hakikatnya termasuk dalam kafalah atau ta’addi/itlaf. Namun menurutnya bila dilihat dari kafalah tidaklah memenuhi syarat kafalah, karena al-makful bihi (uang atau barang yang wajib diserahkan) tidak jatuh tempo diakibatkan pelunasan atau pembebasan atau benda yang dipertanggungkan dirinya. Di samping itu, al-makluf ‘anhu (yang atasnya diserahkan uang/benda tanggungan) wajib menyerahkan bendanya itu sendiri kepada al-makful lahu. Jika benda itu musnah, maka diganti dengan benda-benda yang sebanding. Adapun dengan cara ta’addi/itlaf juga tidak benar, karena perusahaan yang menerima jaminan tidaklah melakukan pengrusakan atas harta peserta suransi, namun disebabkan oleh musibah dan malapetaka.
3. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena mengandung riba. Beliau melihat riba tersebut dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.
Kelompok kedua adalah kelompok yang membolehkan keberadaan asuransi, antara lain dikemukakan oleh Syaikh Abdurrahman Isa (guru besar Universitas Kairo), Syaikh Abdul Khalaf, Prof Dr. Muhammad al-Bahi.
Pada dasarnya, mereka mengakui bahwa asuransi merupakan suatu bentuk muamalat yang baru dalam Islam dan memiliki manfaat serta nilai positif bagi umat selama dilandasi oleh praktik-praktik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam Islam, asuransi haruslah bertujuan kepada konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta menjadikan semua aspek peserta sebagai keluarga besar yang saling menangung satu sama lain. Dalam menghadapi rezeki, Allah memerintahkan untuk saling tolong-menolong dalam bentuk al-birr wat taqwa dan melarang dalam bentuk al-itsm wal ‘udwan.
Konsep dasar nilai yang mendasari asuransi Islam serta menjadikannya berbeda dengan jenis asuransi konvensional.*/Sudirman STAIL
Sumber buku: Lembaga Keuangan Syariah, penulis: Prof. Dr. Ahmad Rodoni – Prof. Dr. Abdul Hamid.