Hidayatullah.com– Mantan Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution menuding pemberangkatan jamaah haji Indonesia adalah salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah karena menguras devisa negara.
Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Siskohat Kementerian Agama, Ramadhan Harisman, menilai pandangan itu tidak tepat dan berlebihan.
Ramadhan mengatakan, kebutuhan valuta asing (valas) untuk operasional haji jauh lebih kecil ketimbang valas untuk impor migas dan pembayaran utang korporasi yang jatuh tempo pada periode tertentu di tahun berjalan.
“Terlalu berlebihan jika pemberangkatan jamaah haji dianggap melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (USD). Banyak faktor lain yang mempengaruhi lemahnya nilai tukar rupiah,” ujar Ramadhan, di Jakarta, Senin (10/09/2018) lansir Kemenag.
Bicara hitungan angka, ia memaparkan, total biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji reguler tahun ini sebesar Rp 14,1 triliun berupa mata uang rupiah dan riyal (SAR).
Dari total angka tersebut, pembiayaan dalam mata uang Saudi sebesar SAR 2,1 miliar atau USD 560 juta. Itu pun tidak digelontorkan langsung, melainkan secara bertahap dalam 4-5 bulan masa operasional haji. Sedangkan sisanya dibayar dalam bentuk rupiah, termasuk ongkos penerbangan haji.
Selain itu, pembayaran setoran awal dan setoran pelunasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) oleh jamaah juga menggunakan rupiah. “Dengan demikian, pada saat pembayarannya tidak berpengaruh terhadap kebutuhan SAR maupun USD dalam negeri,” ujarnya.
Tak bisa dimungkiri, selama musim haji memang terjadi perpindahan devisa ke Arab Saudi. Semua negara mengalami hal sama karena pelaksanaan ibadah haji dan umrah hanya di Tanah Suci.
Namun, pemerintah berupaya mengimbanginya dengan distribusi ekonomi kepada warga Indonesia yang bermukim di Saudi. Setidaknya membantu sebagian dari mereka yang pendapatannya amat bergantung dari pelaksanaan haji dan umrah.
“Di antara mukimin itu ada yang bekerja untuk pebisnis Saudi yang hidup dari siklus haji dan umrah. Ada yang kita rekrut jadi pendukung petugas haji, ada juga yang berjualan ke jamaah. Mereka jugalah yang memenuhi kebutuhan konsumsi jamaah haji khusus. Pendapatan mereka kembali ke kampung halaman sebagai devisa,” terangnya.
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mengupayakan kebijakan yang memihak ekonomi dalam negeri.
Misalnya, perangkat jamaah haji seperti seragam dan kain ihram yang disediakan oleh bank penerima setoran harus berasal dari produk usaha kecil dan menengah (UKM). Katering jamaah selama di Tanah Suci wajib menggunakan menu Indonesia dengan bumbu masak dari Indonesia. Setiap penyedia katering juga diharuskan merekrut juru masak berpaspor Indonesia.
Gerai makanan Indonesia seperti warung padang dan warteg memang masih minim di kota tujuan haji di Saudi. Tapi, kata Ramadhan, bukan berarti hal itu menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah sebagaimana disebut Anwar Nasution.
“Restoran Turki menjamur di Makkah dan Madinah, tapi buktinya tak bisa juga membantu mengurangi depresiasi mata uang lira Turki terhadap dolar AS. Bahkan, lira mengalami depresiasi yang lebih besar daripada rupiah,” Ramadhan memberi perbandingan.
Ramadhan memastikan, kebijakan pemerintah terkait haji didasarkan pada kepentingan nasional. Secara spesifik kebijakan itu memihak umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia.
Sejak lima tahun silam, kebijakan penyelenggaraan haji diselaraskan dengan penguatan ekonomi syariah. Setoran biaya haji harus melalui bank syariah dan seluruh dana haji sudah dipindahkan dari bank konvensional ke bank syariah. Pengelolaan keuangan haji juga diwajibkan menggunakan platform syariah sebagaimana amanat UU 34 tahun 2014.
Sebelumnya, mantan Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution menyebut, salah satu yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah yaitu keputusan pemerintah yang memberangkatkan jamaah haji dan umrah dalam jumlah yang cukup besar. Hal itu dinilai dapat menguras devisa negara. Namun menurutnya hal itu tidak dimanfaatkan untuk memperkuat ekonomi Indonesia di Makkah dan Madinah.
“Indonesia mengirim jamaah umrah dan haji terbesar. Habis devisa untuk itu,” kata Anwar Nasution, dalam diskusi bertajuk “Bisakah Bersatu Menghadapi Krisis Rupiah?” di Gado-gado Boplo Menteng, Jakarta Selatan, Sabtu, 8 September 2018 kutip Tempo.co.
Anwar Nasution menyebut, yang dimaksud dengan banyaknya jumlah jamaah haji dan umrah malah menggerus devisa adalah karena pada akhirnya uang yang dikeluarkan oleh para jamaah hanya akan mengalir ke luar negeri.
“Emang ada restoran padang di Makkah, misalnya? Enggak ada, kan? Paling warung-warung kecil. Ini yang salah, tidak dimanfaatkan dengan baik,” kata dia.*