Hidayatullah.com–Ada warna baru seiring peringatan dua tahun tragedi 11 September di Eropa. Di kawasan yang kebijakan AS dan Presiden Bush makin tak populer ini, teori konspirasi makin laku. Buku-buku yang memberi “penjelasan” melawan arus mengenai siapa di balik tragedi 11 September justru laku keras.
Meskipun setiap buku memiliki sudut pandang berbeda atas tragedi itu, namun pengarangnya sama-sama berpendapat bahwa pemerintahan George W Bush dikabarkan telah merencanakan serangan kamikaze (bunuh diri) pesawat jet itu atau setidaknya membiarkan itu terjadi untuk mempercepat agenda kebijakan luar negeri yang agresif.
Lebih dari 70 ribu orang Jerman membeli buku berjudul CIA dan 11 September karangan Andreas von Buelow, mantan menteri riset Jerman. Di buku terlaris di urutan ketiga itu, dia berpendapat pesawat-pesawat yang ditabrakkan itu tidak dipiloti oleh pembajak militan melainkan oleh remote control (pengendali jarak jauh). Mantan menteri riset federal itu juga menyatakan bahwa agen intelijen AS (CIA) atau agen rahasia Israel (Mossad) terlibat dalam perencanaan 11 September.
Von Buelow dan pengumbar teori konspirasi lainnya telah berulang kali dikritik di media Eropa, tetapi ide mereka tampaknya mendapatkan tempat yang semakin besar. Ini seiring ketidakpercayaan mengenai alasan yang diberikan terhadap perang Iraq pimpinan AS tumbuh. Di antaranya soal senjata pemusnah masal yang ternyata omong kosong.
Ada buku lain yang lebih sukses. Penerbitan Zweitausendeins (2001) di Frankfurt memuji-muji kesuksesan buku Mathias Broecker yang berjudul Konspirasi, Teori Konspirasi dan Rahasia 11 September di website mereka. Buku ini terjual lebih dari 105 ribu eksemplar dalam 10 bulan. Sebuah edisi kelanjutannya baru saja meledak di toko-toko buku.
Broecker, mantan jurnalis harian sayap kiri Tageszeitung, berpendapat bahwa lusinan “pertanyaan tak terjawab” tentang poin-poin serangan dan upaya menutup-nutupi oleh bagian pemerintahan AS.
Buku Operasi 9/11 yang ditulis oleh reporter televisi publik, Gerard Wisnewski, juga dilahap publik. Ia berpendapat bahwa menara kembar WTC diledakkan dengan bahan peledak. Buku ini cetak ulang empat kali hanya dalam waktu tiga minggu di toko buku.
Di Inggris, artikel di harian Guardian yang ditulis oleh mantan Menteri Lingkungan Partai Buruh, Michael Meacher, yang mengatakan petinggi AS terlibat dalam rencana dan dengan sengaja mengosongkan pertahanan udara pada 11 September memprovokasi perdebatan sengit.
Berkecambahnya analisis dengan teori konspirasi -yang sering dinista sebagai “teori sampah” itu-menyusul sukses yang diraih Thierry Meyssan. Pengarang Prancis ini, lewat bukunya 9/11: L’enffroyable imposture 9/11: (Kebohongan yang Mengerikan), lebih dulu menggegerkan.
Dalam buku terlaris 2002 (terjual 164 ribu eksemplar) itu berpendapat serangan ke Pentagon adalah usaha pejabat militer AS untuk membenarkan perang di masa depan. Buku itu juga menuduh faksi sayap kanan pemerintah AS yang cenderung mendominasi dunia dan mengontrol minyak Timur Tengah berada di belakang serangan.
Meyssan, pemikir sayap kiri yang dihormati itu, yakin pesawat yang ditabrakkan ke Pentagon 11 September 2001, yang menewaskan 189, tidak ada dan tabrakan itu adalah sandiwara, karena tak ada bekas sisa-sisa pesawat. Itu, katanya, adalah karena rudal AS sendiri.
Robald Thoden, dari Jaringan Riset 9/11 Jerman yang mengorganisasi berkumpulnya orang-orang yang menyatakan diri sebagai ahli 11 September di Berlin pekan lalu, membantah ada nuansa anti-Amerika ketika mempertanyakan arus utama penjelasan peristiwa itu.
“Awalnya orang-orang berduka bersama Amerika dan tidak berani menanyakannya, tapi sekarang mereka ingin tahu siapa yang berada di belakang ini,” katanya. “Ini bisa menjadi anti-Amerika, karena banyak orang Amerika yang mempertanyakan pertanyaan yang sama.”
Uniknya, survei yang dilakukan oleh institut Forza yang ternama dan diterbitkan oleh mingguan Die Zeit pada Juli menemukan bahwa 31 persen orang Jerman di bawah usia 30 tahun percaya bahwa pemerintah AS terlibat secara langsung dengan serangan 11 September. Di tengah seluruh kelompok usia, rata-ratanya “hanya” 19 persen. (jp)