Hidayatullah.com–Pola baru ini akan berbeda dengan pola yang pernah dilakukan oleh bekas Paus Johanes Paulus II yang meninggal baru-baru ini, tindakan sebelumnya, dikritik karena tidak akan memberi faedah kepada kaum minoritas Kristen di negara Muslim tertentu.
Koran The Washington Post melaporkan, minggu lalu, bahwa bekas Paus mencoba merapatkan hubungan dengan penganut agama lain dengan memasuki masjid terkenal Damaskus serta berunding lebih 60 kali dengan kelompok Islam.
Bekas Paus itu juga pernah melawat sebuah kuil Yahudi di Roma dan Tembok Ratapan di Palestina.
Michael Fitzgerald, Presiden of the Pontifical Council for Inter-Religious Dialogue mengatakan, Paus baru mungkin lebih tegas menuntut hak kaum minoritas Kristen di negara-negara Islam serta kebebasan untuk memilih agama sendiri.
Fitzgerald yang juga seorang pendeta ini juga mengatakan, "Saya tidak berfikir kita akan berperang. Era Perang Salib sudah tamat."
Direktur Pontifical Institute for Islamic and Arabic Studies, yang berada di Roma, Justo Lacunza Balda, pula mengatakan, pemimpin Kristen menganggap negara Islam tidak banyak memberi kebebasan kaum Kristen.
The Washington Post juga mengatakan, kebanyakan pemimpin Vatican menganggap penganut Kristen ditekan di banyak tempat di belahan dunia. Mereka menuduh, penganut Kristen di Timur Tengah mendapatkan diskriminasi dan penindasan penduduk Islam.
Tetapi, bagi dunia Islam, penganutnya melihat keadaan yang terjadi justru sebaliknya karena penjajahan di Iraq dan Afghanistan.
Namun yang jelas, semenjak 11 September, kaum muslim di berbagai belahan dunia, termasuk di negera-negara Eropa dan Barat selalu mendapatkan tekanan dan perlakukan tidak mengenakkan. Di Jerman beberapa hari lalu, lebih dari 31 masjid digeledah aparat keamanan dengan alasan mencari dalang teroris. (bh/twp/cha)