Hidayatullah.com–Dalam Misa Hari Minggu Misi, Serikat Misioner Thailand (TMS, Thai Missionary Society) menugaskan tiga imam dan lima suster untuk berkarya di Kamboja dan wilayah-wilayah terpencil di Thailand.
Satu dari para misionaris baru itu, Pastor Trairong Mullatri dari Keuskupan Ratchaburi, tengah memimpin sebuah panti anak yatim di ibukota Kamboja, Phnom Penh.
“Saya sangat tertarik melakukan karya misioner sejak saya masih sebagai frater,” katanya kepada UCA News, setelah Misa yang diselenggarakan 18 Oktober di Gereja Bunda Kerahiman di Nonthaburi, sebuah propinsi yang berbatasan dengan Bangkok.
“Ada banyak orang miskin dan orang pinggiran yang tidak dipedulikan siapapun, terutama dalam arti spiritual. Saya siap dikirim ke mana saja, tempat saya bisa melakukan kebaikan bagi orang lain,” kata Pastor Trairong.
Suster Kanchani Thongin dari Tarekat Putri Ratu Maria Imakulata, akan berkarya di Distrik Mae Chan di Propinsi Chiang Rai, di utara Thailand, di antara masyarakat adat Akha.
“Saya akan membantu memberi pelajaran agama bagi anak-anak dan orang dewasa,” katanya.
“Karya ini akan sangat menantang bagi saya. Perjalanan saja sangat sulit, dan bahasa serta kebudayaannya sangat berbeda dengan yang saya miliki. Tetapi saya siap melakukan karya Yesus.”
Misa 18 Oktober itu dipimpin oleh Uskup Agung Tharae-Nongsaeng Mgr Louis Chamnien Santisukniran, yang sebelumnya mengetuai Komisi Misi para uskup Thailand, dan Uskup Ratchaburi Mgr John Bosco Panya Kritcharoen, Ketua Komisi itu sekarang ini. Superior jenderal TMS, Pastor Adriano Pelosin, seorang imam dari Institut Kepausan untuk Misi Asing, juga ikut berkonselebrasi dalam Misa itu.
Uskup Agung Chamnien mengatakan kepada klerus, religius, dan umat awam yang hadir dalam Misa itu bahwa Hari Minggu Misi mengingatkan semua umat Katolik bahwa iman itu menuntut lebih dari sekedar pergi ke gereja.
“Banyak dari kita mengira bahwa menjadi seorang Kristen berarti menghadiri misa, pergi mengaku dosa, dan menerima Komuni, tetapi sesungguhnya Yesus meminta kita melakukan karya yang lebih penting, yaitu membantu orang lain menemukan Allah,” katanya.
TMS didirikan 1986 untuk mengutus para misionaris Thailand ke wilayah-wilayah terpencil di negeri itu serta ke negara-negara tetangga. Kini 12 imam dan 14 suster melakukan karya misi TMS.
Anggota-anggota relawan berbicara tentang tantangan-tantangan yang menanti para misionaris baru.
“Problem utama karya misioner adalah tidak adanya sumber daya manusia yang memadai,” kata Pastor Rangsan Phanurak, yang telah berkarya sebagai seorang misionaris di Propinsi Chiang Rai selama 20 tahun.
“Seorang misionaris harus menangani banyak hal pada waktu yang sama,” kata imam dari Keuskupan Udon Thani itu.
Pastor Komtuan Suksuthip dari Keuskupan Agung Bangkok, yang berkarya di Propinsi Yala, dekat perbatasan bagian selatan Thailand dengan Malaysia, menghadapi tantangan-tantangan khusus karena kekerasan yang dilakukan kelompok separatis di daerah itu.
“Kami berada di zona konflik yang menegangkan, namun saya tidak sedemikian takut, karena agama Katolik bukanlah persoalan di sana. Masyarakat lokal sangat baik, tetapi banyak orang khawatir, dan beberapa telah pindah ke berbagai propinsi lain,” katanya. [ucanews/hidayatullah.com]