Hidayatullah.com–Hak-hak TKI di luar negeri masih belum dirasakan. Tingginya biaya agen yang harus dibayar TKI dinilai para pekerja migran msih mencekik seolah sebagai perbudakan. Sikap acuh pemerintah RI terhadap permasalahan rakyatnya di luar negeri, penahanan dokumen, pemalsuan identitas, diskriminasi, praktik upah di bawah standar, membuat kesan pemerintah seakan hanya mau devisanya saja tapi tidak mau mengurusi permasalahan rakyatnya, demikianlah yang dirasakan para tenaga kerja Indonesia di Hongkong.
Peristiwa yang mengagetkan dan menyinggung perasaan TKI adalah kontrak mandiri yang pernah disahkan secara resmi dan tertulis oleh Konjen sejak tahun 2004, mendadak dicabut sejak Januari 2010 tanpa konfirmasi ke TKI. Sementara itu, pihak TKI mengaku baru membaca dari surat kabar berbahasa Indonesia yang terbit di Hongkong.
Akibatnya memicu aksi yang mendesak pejabat RI di Hongkong untuk memberlakukan kontrak mandiri lagi bagi TKI.
Ahad (30/5) massa yang tergabung dari aliansi GAMMI (Gabungan Muslim Migrant Indonesia), PILAR, Persatuan BMI Tolak Overcharging, aliansi blacklist PJTKI, memprotes pejabat KJRI.
Tepat jam 01.00 waktu Hongkong, arak-arakan massa yang berjumlah lebih dari 700 orang bergerak dari depan plaza Soggo menuju depan KJRI. Berdasarkan informasi dari Ketua GAMMI bernama Rosi, demo ini bukan mendadak, namun sudah ada pemberitahuan kepada pihak KJRI satu bulan sebelumnya.
“Kami akan mendesak pejabat KJRI agar segera memberlakukan kontrak mandiri yang menjadi hak TKI. Setelah membuat yel-yel di depan Konsulat, sebagian dari kami akan mengajak pihak Konsulat untuk berdialog secara terbuka, aspirasi kami harus didengar oleh pejabat Indonesia,“ jelas Rosi.
“Sebenarnya telah ada beberapa peraturan tertulis dan sah, tapi kami heran kok KJRI tidak mentaati aturan tersebut. Contohnya saja potongan gaji bagi TKI Hongkong, dalam peraturan adalah 5 bulan saja, tapi pada kenyataannya hingga 7 bulan. Sungguh aneh fakta ini, dan tentang kontrak mandiri ini sebenarnya mudah dilakukan TKI, namun pemerintah berusaha mempersulit kami dengan aturan-aturan nyleneh,“ lanjut wanita yang telah tiga tahun ini menjabat sebagai Ketua GAMMI.
Setelah demo, pejabat KJRI bersedia menemui TKI untuk melakukan dialog terbuka, namun dengan syarat TKI harus menuliskan identitas secara lengkap. Saat TKI akan mengajak 50 orang untuk berdialog, namun perwakilan KJRI hanya mengizinkan 20 orang saja.
Ganika, Sekretaris ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia) yang tergabung dalam aliansi PILAR kepada hidayatullah.com menjelaskan, sebelum aksi sempat diwarnai ketegangan karena pihak KJRI berusaha menunda waktu untuk berdialog, padahal sebelumnya TKI telah mendapat pemberitahuan dari KJRI. [yul/hidayatullah.com]