Hidayatullah.com–Sekjen aliran Islam liberal di Iraq, Ahmad Qabbanji menyatakan bahwa pembagian waris dalam Islam yang memberikan hak laki-laki dua bagiannya perempuan, masih dapat ditinjau kembali dan berada dalam ranah ijtihad. Alasannya adalah, pandangan tentang perempuan sudah berubah dan berkembang sehingga menjadi sebuah kesetaraan dengan laki-laki di zaman sekarang ini.
Menurutnya lagi, pendapat ini adalah baru, dan tidak ada ulama terdahulu yang memiliki pendapat seperti ini, karena mereka tidak hidup di zaman sekarang. Demikian dilansir Al-Arabiya.net (14/10).
Ia mengatakan, anggapan orang yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus sebuah negara, adalah sebuah distorsi yang sangat serius.
Ahmad Qobbanji dilahirkan di kota Najaf, Iraq, pada tahun 1958. Pada tahun 1979 ia pergi ke Iran, dan meneruskan jenjang pendidikannya di sana. Ia kembali lagi ke Irak pada tahun 2008.
Mengenai konsep imam dan khilafah, berdasarkan riwayat sejarah yang ia kaji, ia menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara imamah keagamaan dan imamah duniawi.
Qobbanji menganggap dirinya sebagai seorang agamawan yang liberal dan sekuler. Namun setiap kali ia diminta untuk melepaskan sorbannya, ia selalu saja menolaknya. Karena menurutnya, orang yang melakukan itu adalah orang yang ingin memonopoli agama, dan menjadikan Islam sebagai agama palsu.
Ia juga menilai, jika seorang Wilayah el-Faqih yang ada adalam konsep pemerintahan Iran itu dipilih oleh rakyat, maka itu adalah sebuah sistem demokrasi.
Pada akhir bulan Juli lalu, dalam sebuah ceramah yang disampaikan di depan para pujangga dan penulis Iraq, Qobbanji mengatakan bahwa Karl Marx lebih dekat kepada Alllah dari pada Ibnu Sina. Alasannya adalah, karena Karl Marx mengusahakan kesejahteraan orang miskin melalui pemikirannya.
Qobbanji juga mengatakan bahwa sebuah negara itu harus berdasarkan konsep sipil. Menurutnya, jika ada usaha untuk menjadikan agama sebagai konsep pemerintahan, maka itu merupakan penyimpangan konsep.
Di beberapa forum, ia meyakini bahwa sekularisme itu lebih berbahaya dari pada komunisme. Hal ini karena sekuler itu mengakui kebebasan beragama, dan kerena itu jugalah sekularisme mudah menyebar sebab tidak bertentangan dengan Islam. [sdz/aby/hidayatullah.com]