Hidayatullah.com—Nama Ahmadiyah mendadak sontak terkenal di Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini. Sementara di Malaysia nama Ahmadiyah tidak dikenali umum.
Bahkan ada yang tak tahu apa itu Ahmadiyah. Orang Malaysia hanya mengenal Qadiani yang dianggap sebagai ajaran sesat dan keluar dari Islam, bermarkas di Desa Nahkoda, Batu Caves, negeri bagian Selangor.
Angka pasti tentang jumlah pengikut ajaran sesat itu di Malaysia tidak diketahui, karena pengikut ajaran yang bernabikan Mirza Gulam Ahmad ini tidak mendhahirkan identitas mereka secara terbuka, kecuali yang bermukim di sekitar Pusat Jemaat Ahmadiyah Desa Nahkoda. Setiap saat, ada pengikut mereka yang keluar masuk bangunan tiga lantai itu.
Setelah pemerintah Malaysia menetapkan Qadiani keluar dari Islam, Qadiani (Ahmadiyah, red) tetap diberi hak beribadah dan kebebasan. Namun nampaknya sukar sekali menjalani kehidupan seharian sekiranya identitas mereka diketahui umum, tak seperti sebelumnya.
Menariknya, di Malaysia tingkat sentimen ideologis warga terbawa dalam urusan dagang. Sekedar contoh, seorang pengikut Qadiani yang berdagang di kedai makan (restoran) di suatu lokasi strategis di Kuala Lumpur terpaksa harus tutup karena tidak ada pelanggan setelah diketahui ia adalah pengikut Qadiani (Ahmadiyah). Padahal, sebelum indititas mereka diketahui umum, kedai makan itu sentiasa penuh dengan pelanggan.
Namun masyarakat Malaysia meyakini, masih banyak penganut ajaran sesat ini bercampur baur dalam masyarakat setempat tanpa umat Islam Malaysia tahu. Umumnya, mereka menyembunyikan identitas mereka. Bahkan di tengarai, mereka juga tersebar di kalangan bisnisman, karyawan bahkan petugas di kantor-kantor pemerintah.
Sekitar tahun 1978, seorang penulis Malaysia pernah menulis sebuah artikal tentang nabi palsu Mirza Gulam Ahmad yang meninggal dunia saat buang air besar dalam toilet. Dalam salah satu versi sejarah, pendiri Ahmadiyah itu dikabarkan meninggalnya dalam WC. Artikal tersebut dimuat dalam sebuah majalah hiburan Malaysia.
Dua minggu setelah majalah itu beredar ke pasaran, sang penulis mendapat sepucuk surat dari kantor pengacara dan memintanya untuk menarik balik kata-kata “Mirza Gulam Ahmad mati dalam WC saat buang air besar”. Sang pengacara juga meminta si penulis meminta maaf di hadapan publik. Jika tidak, dia harus rela diajukan ke meja hijau.
Oleh sang penulis, surat itu ditunjukkan kepada pegawai di kantor agama (Pusat Islam) di Kuala Lumpur. Pegawai agama hanya tertawa saat membaca surat itu. Pasalnya, pejabat pemerintahan ini tahu, bahwa surat ini hanya sebuah gertak-sambal saja. Sebab, realitasnya mereka tak mungkin berani berhadapan dengan hukum, karena ia tahu, pemerintah Malaysia telah menetapkan Qadiani (Ahmadiyah) sebagai aliran sesat. */n.aminah-ross, malaysia