Hidayatullah.com–Tiga tahun telah berlalu setelah pemuatan kartun penghinaan di media Denmark membuat geger dan menyulut banyak perdebatan dan juga kepedihan warga Muslim di negara ini. Kemelut yang terjadi membuka mata kita karena menggarisbawahi salah satu dilema isu minoritas Muslim di Denmark: media dan pemberitaan media tentang warga Muslim.
Kemelut kartun itu diprovokasi oleh media dan punya tujuan yang jelas, yaitu memantik debat publik tentang perilaku Muslim dan pandangan Muslim tentang masyarakat dan kehidupan politik.
Tapi yang terjadi saat itu bukanlah dialog nyata karena Muslim nyaris tidak ikut serta dalam perdebatan ini. Sebagian Muslim Denmark kecewa karena kurangnya forum di mana mereka bisa berpartisipasi secara sejajar dalam debat media. Alih-alih, mereka harus tergantung pada media di dunia Arab untuk mempertahankan diri mereka.
Situasi meruncing tatkala kaum Muslim dan media Denmark terpolarisasi; berita-berita utama menggambarkan orang-orang Muslim di seluruh dunia yang marah dan meneriakkan jihad kekerasan, dan mendapat stereotipe sebagai “orang-orang yang biasa membuat masalah”. Pada sisi lain, Muslim Denmark merasa terkucilkan oleh media dan kesal dengan stereotipe dan pemberitaan bias yang mereka terima.
Bagi masyarakat Denmark, kemelut karikatur itu adalah soal kebebasan berpendapat; bagi Muslim Denmark itu soal prasangka budaya.
Menengok kembali situasi itu tiga tahun kemudian, kita bisa bertanya, mengapa kita tidak memecahkan isu yang satu dengan isu yang lain, dengan menggunakan kebebasan berpendapat untuk melawan prasangka dan stereotipe? Mengapa kita tidak mendirikan media yang fokus pada Muslim, seperti surat kabar, majalah atau stasiun televisi Muslim nasional di Denmark, untuk menjadi pengawas dari prasangka yang ada di media arus utama? Media seperti ini bisa meliput isu-isu politik secara proaktif, alih-alih digunakan untuk membela pernyataan tidak berdasar dan stereotipe yang sudah tampak di media?
Muslim bisa saja mengeluhkan pemberitaan bias, menulis surat pembaca atau surat ke redaksi tentang pemberitaan yang jelek mengenai isu-isu Muslim, atau menghadiri seminar atau pertemuan dialog untuk menyuarakan kekecewaan kita. Tapi kita perlu berbuat lebih dari itu.
Muslim di Denmark butuh media yang bisa mengubah opini publik dengan menjangkau para peneliti ahli, pembuat undang-undang, pihak eksekutif, pembuat keputusan dan akademisi di negara ini. Dengan cara ini, Muslim bisa bekerja secara proaktif untuk memberi tahu para pembuat opini dan mengurangi prasangka atau miskonsepsi yang mungkin mereka punyai.
Media arus utama tidak bisa meliput semua isu yang penting bagi Muslim, dan apa yang mereka liput sering kali melewatkan perspektif Muslim. Misalnya, meskipun surat kabar Kristen nasional Denmark Kristeligt Dagblad sering membahas isu yang terkait dan penting bagi Muslim, itu dilakukan terutama dari sudut pandang orang Kristen.
Meski negara-negara Barat lain, seperti Inggris, Jerman dan Austria, telah mendirikan berbagai perusahaan media Muslim, ada sangat sedikit media Muslim di Denmark.
Dalam debat publik tentang masalah tersebut baru-baru ini, saya bertanya pada seorang redaktur dari media arus utama Denmark tentang stereotip dan kurangnya pemberitaan yang objektif tentang Muslim di Denmark. Ia menanggapi, “Kami tidak banyak tahu dan tidak banyak punya jejaring dengan Muslim.”
Sebuah media Muslim bisa mempunyai kelebihan baik karena sangat tahu tentang isu-isu Muslim, maupun karena punya kontak jejaring yang bisa memberi tahu media ini tentang keragaman di kalangan Muslim, dan pandangan serta keyakinan mereka.
Di negara-negara Barat lainnya seperti Amerika Serikat atau Jerman, organisasi Muslim bekerjasama dengan media arus utama untuk melatih para jurnalis, redaktur dan produser tentang Islam dan isu-isu yang terkait dengan komunitas Muslim. Dengan begitu mereka pun menanam benih untuk menumbuhkan perusahaan media Muslim.
Dengan bekerjasama dengan media, Muslim dan jurnalis bisa saling membantu melawan liputan media yang bias. Kalaulah mereka dulu sudah melakukan itu, mereka akan bisa menghindarkan terjadinya kemelut kartun.
Tanggung jawab media tidaklah saja untuk meliput masyarakat secara objektif dan informatif, tapi juga melibatkan masyarakat dalam dialog sebagai sebuah sarana kebebasan berpendapat dan berdebat bagi perspektif kaum minoritas.
Sebagian media Denmark membela diri, dan mengatakan sudah mempunyai staf yang Muslim. Tapi bukan itu intinya. Bias dan prasangka tidak diredam dengan latar belakang agama atau budaya dari staf media, tapi dengan membantu menciptakan kesempatan yang jenuin bagi minoritas untuk mengukuhkan diri di media.
Muslim di Denmark membutuhkan media Muslim independen untuk mengawasi bias dalam pemberitaan, opini dan liputan media proaktif. Jika media Denmark serius tentang jurnalisme, mereka perlu libatkan kalangan Muslim. Dan jika kalangan Muslim serius melawan bias, mereka perlu libatkan media. *
Artikel ini ditulis, Safia Aoude, pengacara dan penulis di Kopenhagen yang tengah menempuh studi bidang jurnalisme di Universitas Denmark Selatan. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews)
Foto: demo akibat pemuatan kartun media Denmark