Hidayatullah.com–Ribuan orang warga Libya berbondong-bondong mengerumuni benteng Qadhafi di Tripoli hari Sabtu (19/3) untuk membentuk tameng manusia melawan serangan udara pasukan sekutu.
Percikan api terlihat di langit malam dan rakyat menembakkan serangan balasan ke udara, setelah sekutu memulai serangan udara guna mencegah pasukan Qadhafi masuk ke Benghazi.
Rakyat Libya dari berbagai umur berkumpul di kompleks Bab Al-Aziziyah, meneriakkan slogan seraya mengusung foto Muammar Qadhafi. Pengeras-pengeras suara bergaung keras mendukung dan memuji pemimpin mereka.
“Ibu dan ayah memberitahu saya bahwa mereka (pesawat-pesawat milik negara Barat) akan menyerang kompleks ini, sehingga saya datang ke sini untuk melindungi pemimpin kami,” kata bocah laki-laki berusia 10 tahun bernama Mahmud.
Pasukan negara-negara Barat membombardir wilayah sepanjang pantai barat Libya pada hari Sabtu (19/3) lewat serangan udara dan laut.
Pesawat-pesawat Prancis yang pertama kali membuka serangan militer sekutu atas Libya, menandai dimulainya invasi militer terbesar negara-negara Barat atas wilayah Arab sejak invasi ke Iraq tahun 2003.
Beberapa jam kemudian, kapal-kapal perang dan kapal selam Inggris dan Amerika meluncurkan lebih dari 110 rudal Tomahawk dengan target sekitar kota Tripoli dan Misrata.
Sebagaimana dilansir Reuters (19/3), pemerintah mengajak wartawan asing memasuki tempat-tempat yang biasanya tertutup untuk menunjukkan dukungan rakyat atas Qadhafi.
Di dalam kompleks militer yang menjadi sasaran bom Amerika Serikat tahun 1989, tampak banyak orang menari dan menyanyi mengelu-elukan Qadhafi. Di jendela rumah pemimpin Libya itu tampak gambar sebuah tangan meremukkan jet tempur F-16.
Aisha, putri Qadhafi, melakukan kunjungan tiba-tiba dan berdiri di atas sebuah kendaraan saat bendera dikibar-kibarkan menyambut kedatangannya oleh para pendukung Qadhafi.
“Seluruh keluarga saya ada di sini. Kami semua bertekad mati di sini untuk melindungi Libya dan pemimpin kami Qadhafi,” kata Basma Amoume, wanita 27 tahun pegawai kantor pensiunan sambil menggedong putrinya yang berusia 6 bulan.
“Kami di sini, kami siap mati untuk pemimpin kami,” kata Om Abdel Qadir, seorang guru bahasa Arab. Kata wanita itu, dia dan keenam putranya sukarela berperang untuk menbela Qadhafi.
“Meski kami tidak punya senjata, orang-orang akan melakukan apapun yang mereka bisa untuk melawan. Anda akan melihat orang ada di setiap jalan, menaburkan minyak panas ke arah musuh,” kata Mahmud Al-Mansuri. Petani itu mengatakan bahwa rakyat Libya marah.
“Ada 5.000 orang dari berbagai suku yang siap datang ke sini untuk membela pemimpin kami. Mereka (AS dan sekutunya) lebih baik tidak coba-coba menyerang negara kami,” tegas Al-Mansuri.*