Hidayatullah.com–Pada hari Selasa (05/4), Jean-Francois Cope, seorang bintang yang sedang bersinar di partai UMP yang memerintah, mengadakan perdebatan mengenai sekularisme dan Islam. Tujuannya untuk mencari cara menerima tradisi Islam di tengah sistem sekuler Prancis.
Gagasan tentang perdebatan ini menyulut silang pendapat. Sebagian warga Muslim mengatakan, mereka akan menjadi korban stigmatisasi. Seorang penasihat Presiden Sarkozy untuk masalah keberagaman tidak hanya meletakkan jabatan, melainkan juga mengimbau aksi demonstrasi menentang perdebatan itu.
Dia mengatakan, partai UMP merupakan “penyakit bagi Muslim”.
Bahkan di tubuh partai yang memerintah sendiri terjadi perpecahan. Perdana Menteri Francois Fillon dan Menteri Luar Negeri Alain Juppe tidak suka atau tidak menginginkan perdebatan itu.
Berbagai kelompok keagamaan mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa mereka khawatir “perdebatan itu bisa menambahkan kebingungan dalam periode sulit yang sedang kami alami.”
Tetapi, menurut jajak pendapat, orang Prancis sangat terganggu terhadap perilaku sejumlah warga Muslim di negara itu. Satu jajak pendapat menyebutkan 40% orang melihat Islam sebagai musuh dalam selimut.
Sebagian orang melihat perdebatan ini akan melahirkan kekhawatiran itu, sedangkan yang lainnya menekankan diskusi harus dilakukan.
Keseluruhan masalahnya penuh dengan keruwetan. UU tahun 1905 yang memisahkan Gereja dan Negara merupakan prinsip pokok Republik Prancis. UU ini menopang nilai-nilai Prancis.
Presiden Sarkozy berpendapat bahwa jika makanan halal, sebagai contoh, disediakan di kantin sekolah sekuler, maka prinsip pemisahan antara Geraja dan Negara akan terkorbankan. Yang lainnya mengatakan, membolehkan warga Muslim shalat di jalan-jalan akan mendorong agama meresap dari masjid ke ruang publik.
Yang lainnya lagi berpendapat bahwa para orang tua yang melarang anak-anak perempuan ikut dalam pelajaran berenang, berarti akan memperkenalkan agama ke dalam kegiatan sekuler.
Begitulah argumen-argumen itu mengalir.
Islam politik
Jean-Francois Cope curiga banyak pegiat tidak begitu kental terkait dengan agama, tetapi lebih pada Islam politik. “Ada sejumlah perilaku ekstrem tertentu,” katanya, “Yang dipimpin oleh para pengikut garis keras yang menggunakan agama untuk tujuan politik dan menggunakan teknik-teknik ekstremisme.”
Dan ini menyentuh pertanyaan-pertanyaan lebih luas. Secara umum diterima bahwa semua sama di mata hukum di dalam masyarakat demokratis. Semua orang harus mematuhinya. Ini menjamin kebebasan beragama.
Tetapi di Prancis –dan Eropa lainnya– ada orang yang mengatakan bahwa sejumlah komunitas Muslim adalah kasus khusus. Beberapa tokoh penting bahkan mengatakan, mungkin saja ada alasan untuk membolehkan pemberlakuan sebagian hukum Islam (syariah).
Pertanyaannya, apakah ini harus diperdebatkan atau tidak? Kalau perdebatan tidak dilaksanakan, ada orang lain yang akan melakukannya. Ini pasti. Marine Le Pen, yang memimpin Front Nasional, membuat faktor penting dalam kampanyenya bahwa agama harus dijauhkan dari ruang publik. Sikapnya tentang ini membuat dia kuat dalam jajak pendapat naional.
Kemudian, pekan depan larangan burka dan niqab mulai berlaku. Pelanggaran akan didenda 150 ero (Rp1.8 juta). Laki-laki yang didapati memaksa wanita memakai burka akan didenda 30.000 ero (Rp370 juta).
Di bagian Eropa lainnya ada kesamaan pandangan bahwa sistem multikultural telah gagal. Semakin banyak orang yang mendukung pendapat ini. Dan, pendapat ini pulalah yang dikemukakan oleh Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Sarkozy, dan PM Inggris David Cameron.
Mereka berpendapat, multikulturalisme membawa perpecahan, bukan integrasi.
Pada dasarnya, argumen ini adalah tentang tempat yang pantas bagi agama di tengah masyarakat bebas.*
Keterangan: Masyarakat anti-islamofobia melakukan protes di Prancis