Hidayatullah.com—Tema femenisme dan gender banyak digandrungi di Indonesia, namun anehnya, di Prancis, di mana awal mula paham ini berdiri justru mulai ditolak.
Baru-baru ini, sebuah gereja Katolik di Prancis meminta pemerintah menghapus bab teori gender dari kurikulum pelajaran biologi sekolah menengah atas. Pasalnya, bab tersebut dinilai mendukung kaum gay, yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Katolik.
Dilansir dari laman Le Temps, sebagaimana dimuat VIVAnews, tujuan bab teori gender sebenarnya adalah untuk membantu remaja mengenal perbedaan identitas seksual dan identitas biologis, yang dapat dipengaruhi faktor sosial-budaya. Namun, gereja memandang hal tersebut sangat berisiko karena dianggap bisa mencerai-beraikan keluarga serta bisa mendorong para remaja menjadi homoseksual.
“Isu ini sangat serius karena bab ini mencoba melawan kodrat dan ciptaan Tuhan. Manusia dapat menganggap diri mereka sebagai pencipta, dapat memilih seksualitas mereka sendiri, dan memilih gaya hidup berdasar pilihan personal,” kata uskup Bernard Ginoux dari Montauban.
Studi gender yang mulai berkembang sejak 20 tahun lalu ini memuat topik seperti kesetaraan gender dalam politik atau dunia kerja, atau peranan wanita dalam seni dan pergerakan sosial. Namun, gereja memandang teori ini sebagai pergeseran paradigma yang mempertanyakan perbedaan seksual yang merupakan hal intrinsik dalam ilmu budaya, bahkan Vatikan menyebut teori ini berbahaya.
Penggunaan kata ‘teori’ juga menjadi poin lain yang jadi kontroversi. Monsignor Anatrella menganggap teori gender tak lebih dari sebuah pendapat yang tak berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan hal ini disetujui oleh 80 persen anggota partai konservatif Prancis yang menginginkan supaya bab kontroversial tersebut dihapus dari kurikulum biologi.
“Anda tidak bisa memberikan materi studi gender yang sama pada mahasiswa yang berusia di atas 20 tahun dan anak sekolah menengah. Secara psikologis dan secara manusiawi, anak sekolah menengah belum memadai untuk menerima materi itu,” kata Jean Matos yang mengetuai grup gabungan agamawan-guru-ilmuwan bentukan Gereja.
“Kami menemukan bahwa banyak guru yang tidak terlalu paham isu ini. Usaha kami berkaitan dengan kurikulum yang menghormati martabat manusia, terutama remaja yang sedang mencari jati diri sehingga mereka menjadi rentan,” tutur uskup Omellas, yang merupakan spesialis bidang bioetika.
Di Indonesia
Sementara Eropa mulai mempertanyakan paham ini, di Indonesia, justru sebaliknya. Sebelum ini, kurikulum berbasis gender sudah diterapkan di beberapa perguruan tinggi, termasuk SMU. KTSP berbasis kesetaraan gender bahkan sudah dicoba di SMA Negeri 4 Yogyakarta.
Siti Hariti Sastriyani dalam sebuah opininya berjudul, ”Model Sekolah Berwawasan Gender,” Kedaulatan Rakyat, 21 Desember 2007 pernah menyebutkan, Dinas Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pernah berusaha mengimplementasikan Model Sekolah Berwawasan Gender di 4 kabupaten dan 1 kota, dengan pilot project di kecamatan Sewon (Kabupaten Bantul), kecamatan Mlati (Kabupaten Sleman), kecamatan Wonosari (Kabupaten Gunungkidul), kecamatan Pengasih (Kabupaten Kulonprogo), dan Kecamatan Umbulharjo (kota Yogyakarta).
“Untuk mewujudkan Model Sekolah Berwawasan Gender, sumber daya manusia dan komponen-komponen bidang pendidikan perlu memiliki responsif gender. Kepala sekolah, guru, tenaga pendidik, komite sekolah, orangtua murid, dan masyarakat sebagai sumber daya manusia serta komponen-komponen bidang pendidikan yang berwujud kurikulum, bahan ajar, sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran harus berperspektif gender,” tulisnya.*