Hidayatullah.com–Sebagaimana diberitakan Christian Today Ahad lalu, survei ARG menyatakan bahwa 95 persen kaum muda Kristen AS berusia 20-29 tahun, rutin menghadiri gereja pada saat usia sekolah dasar hingga menengah pertama.
Kemudian, hanya 55 persen kaum muda Kristen tetap menghadiri gereja saat duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan saat mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, hanya 11 persen yang masih menghadiri gereja.
Penelitian America’s Research Group (ARG) yang bertemakan; “Mengapa kaum muda meninggalkan gereja” ini, dan kemudian diterbitkan dengan judul “Already Gone”, sangat mencengangkan gereja.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa 40 persen kaum muda Kristen yang hengkang dari gereja, mengaku bahwa mereka pergi karena meragukan kebenaran Alkitab saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sedangkan 43,7 persen di antaranya mengatakan bahwa mereka tidak lagi memercayai kebenaran Alkitab saat duduk di bangku sekolah menengah atas.
Para kaum muda Kristen yang tak lagi ke gereja ini mengatakan bahwa mereka tidak memercayai Alkitab karena itu ditulis oleh manusia (24 persen); tidak diterjemahkan dengan tepat (18 persen); isi Alkitab banyak yang saling bertentangan (15 persen); dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah (14 persen).
“Generasi muda yang hilang dari gereja, membuatku sangat prihatin, baik secara pribadi maupun profesional,” tutur Ken Ham, seorang penulis, pembicara, pendiri dan Presiden dari Answers in Genesis and Young Earth, yang berdomisili di Amerika Serikat.
Ini berarti, menurut Ham, Sekolah Minggu telah gagal memperkuat keimanan dari para generasi muda Kristen. “Sekolah Minggu moderen lebih berperan membentuk moralitas dan spritualitas anak-anak—bukan iman Kristen,” keluh Ham, seraya mendorong para umat kristiani di AS untuk benar-benar mempertimbangkan hasil survei tersebut sebelum mengambil tindakan seperti ‘membubarkan’ Sekolah Minggu.
Ham mengatakan bahwa sementara para guru Sekolah Minggu mengajarkan mengenai cerita-cerita di Alkitab, anak-anak tersebut dibiarkan “sendiri” mempelajari biologi, antropologi, geologi, astronomi, dan pelbagai ilmu pengetahuan lainnya. Akibatnya, cerita-cerita di Alkitab lebih ditafsirkan sebagai “cerita dongeng” ketimbang sejarah dari peradaban manusia.
“Bagi mereka, (kisah) Alkitab tidak nyata,” terang Ham. “Di gereja, kita mengajarkan mengenai moralitas, hal-hal spiritual, hubungan sesama manusia… (tapi) tidak mengajarkan mengenai ilmu alam.”
“Siapa bilang itu bukan tugas gereja? Padahal Alkitab banyak menyinggung mengenai geologi, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya,” tutur Ham prihatin. “Akibatnya kita kehilangan generasi penerus.”
Menurut pengamatan Ham, banyak pendeta dan guru Sekolah Minggu yang mengajarkan—apa yang menurut Ham—kompromisasi. “ Di mana mereka mengajarkan bahwa teori evolusi dapat dipercaya. Bahwa usia bumi sudah mencapai jutaan, bahkan miliaran tahun, bukan enam ribu tahun—seperti yang diajarkan Alkitab,” urai Ham.
Itulah mengapa, kata Ham, para kaum muda Kristen mulai mempertanyakan kesahihan Alkitab, khususnya Kitab Kejadian—sehingga mereka mulai tidak mempercayai keseluruhan isi Alkitab.
“Jika kita mengajarkan pada mereka untuk meyakini Firman Tuhan, sebagaimana mempercayai peristiwa kebangkitan dan mukjizat-mukjizat Yesus, kisah Yunus di perut ikan… tapi tidak memberitahukan kepada mereka perlunya meyakini kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian sebagaimana mestinya—kita telah membuka pintu,” kata Ham. “Pintu untuk meragukan otoritas Alkitab,” jelas Ham.
“Kita telah membiarkan dogma sekuler humanis meracuni generasi muda Kristen Amerika. Saatnya gereja-gereja kembali pada otoritas Alkitab, yang dimulai dengan meyakini Kitab Kejadian,” pungkasnya. [glm/hidayatullah.com]