Hidayatullah.com–“Saya khawatir, RUU KKG sekadar pengalihan isu, Ada hal lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Jangan kita respon. Kita tunggu saja RUU KKG sampai disahkan. Toh nanti sampai disahkan saya tidak yakin akan efektif. Saya yakin secara naluri segelintir wanita saja yang akan melaksanakannya. Tunggu sampai disahkan. Toh ternyata jika nanti bahaya distop saja, selesai,” demikian salah seorang peserta diskusi ilmiah “Membedah RUU KKG” di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM) yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKMP) Gontor cabang Malaysia bekerja sama dengan Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) dan Indonesian Student Society of INSTED (Institute of Education) (ISSI), minggu lalu lalu.
Diskusi menarik ini diisi oleh seorang peneliti, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Henri Shalahuddin, MIRKH. Dalam uraiannya, kandidat kandidat doktor University of Malaya (UM) yang kini sedang meneliti tentang gender itu menjelaskan bahwa RUU KKG bukan hanya peraturan normative, tetapi justru mempunyai kekuatan hukum untuk menghukum bagi yang melanggar jika telah disahkan. Dan jika disahkan, korban RUU ini adalah umat Islam.
Ia kemudian menyebut isi BAB IX Ketentuan Pidana Pasal 70 RUU KKG yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara dan dipidana denda.”
Henri juga membedah tujuan feminisme yang menuntut kesamaan hak seperti bisa dilihat dari tujuan RUU KKG yang termaktub dalam Pasal 3:a yang berbunyi: “Mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan.”
Hancurnya sistem keluarga
Menurut Henri, jika ide feminism ini masuk dalam undang-undang, maka dampak negatifnya adalah hancurnya institusi keluarga.
Ia menyubut sejumlah fakta meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri di AS dan menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk di AS dan negara Eropa, di mana kedua Negara itu adalah pionir dalam feminisme.
Laporan majalah TIME yang berjudul “Teen Suicide” (Bunuh Diri di Kalangan Remaja) menunjukkan kecenderungan bunuh diri di kalangan remaja usia 10 sampai dengan 20 tahun meningkat sangat tajam di AS, yaitu bertambah 3x lipat pertahunnya sejak 1950.
Menurut Henri, faktor penyebab bunuh diri adalah kehilangan perlindungan dalam suatu keluarga serta perkembangan jiwa yang tidak sehat karena hilangnya kepedulian dan kasih sayang.
Jerman, Belanda dan AS menunjukkan angka pertumbuhan penduduk yang kecil dengan angka kelahiran yang kecil dan angka kematian yang besar. Inilah penyebab kehancuran Barat. Namun tidak demikian halnya dengan migran Muslim di AS dan Eropa yang mempunyai angka pertumbuhan penduduk yang besar, sehingga jumlah kaum Muslim terus meningkat dan bisa menjadi mayoritas secara alami.
Sebaliknya, negara-negara Muslim di mana gerakan feminisme masih belum selaris di AS dan Eropa, mempunyai angka pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan angka kelahiran yang besar dan angka kematian yang kecil.
Dalam diskusi ilmiah yang dihadiri mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang sedang menempuh studi di IIUM dan Universiti Malaya (UM) itu, Henri yang akan menerbitkan buku “Indahnya Keserasian Gender Dalam Islam” mengatakan seharusnya yang diperjuangkan bukan kesetaraan gender tapi keserasian gender.
Menurutnya, yang seharusnya diperjuangkan kaum perempuan adalah; tersedianya ruang menyusui di mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers), cuti hamil dan melahirkan selama 1 tahun.
Juga masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia balita. Tersedianya persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah. Kebebasan memakai jilbab di tempat kerja, sekolah, dan di tempat lainnya.
Namun ironisnya, di dalam RUU KKG sama sekali tidak terdapat hal-hal krusial seperti tersebut di atas. Sehingga RUU tersebut patut dipertanyakan sebagaimana tema diskusi, “RUU KKG itu untuk siapa?”
“Apakah untuk semua wanita Indonesia? Jika tidak, RUU KKG adalah untuk mengakomodir kepentingan elit feminis tertentu saja, tidak untuk semua perempuan,” ujarnya.
Dalam acara yang menyedot perhatian para mahasiswa Muslim yang aktif di Forum Tarbiyah (FOTAR) IIUM itu juga diserahkan tanda tangan dukungan penolakan RUU KKG oleh para peserta yang mewakili organisasi dan pribadi.*/Abdullah al-Mustofa, koresponden hidayatullah.com di Malaysia