Hidayatullah.com–Menteri Agama, Suryadharma Ali menegaskan bahwa Indonesia tepat jika dijadikan sebagai laboratorium penelitian tentang bagaimana hubungan yang baik antar umat beragama dalam sebuah negara.
Penegasan ini disampaikan Menag ketika melakukan pertemuan dengan Sekjen Southern Border Provinces Administrative Center (SBPAC), Kolonel Polisi Tawee Sodsong, di Thailand, Senin (14/01/2013). SPBAC mencakup 5 Provinsi, yaitu: Yala, Pattani, Narachiwat, Satun, dan Songkla. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh tokoh-tokoh Muslim Provinsi Pattani.
“Perekat utamanya, salah satunya adalah kekuatan Islam. Yaitu Islam yang toleran, Islam yang berwajah kemanusiaan, dan Islam yang rahmatan lil alamin,” terang Menag dikutip laman resmi Kemenag.
Namun, Indonesia dapat menyatukan semua itu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Perekat utamanya, salah satunya adalah kekuatan Islam. Yaitu Islam yang toleran, Islam yang berwajah kemanusiaan, dan Islam yang rahmatan lil alamin,” terang Menag.
Suryadharma Ali juga menjadi Keynote Speech pada pertemuan bertema “International Conference on “Islamic Studies in a Changing World: Challenges and Opportunities” yang diselenggarakan di Princess of Songkhala University Pattani Campus, Pattani Province, Thailand pada 14 – 15 Januari 2013.
Selain tamu undangan dari berbagai negara, ikut hadir dalam pertemuan ini rektor Princess of Narathiwat University.
Dalam sambutannya, Menag menyampaikan bahwa Islam mengajarkan prinsip bahwa perbedaan bukanlah penghalang bagi manusia untuk membangun hubungan yang baik dan saling menguntungkan.
“Perbedaan menjadi media sinergi positif dalam menyongsong kehidupan yang lebih baik,” terang Menag.
Menag menyampaikan bahwa Indonesia mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dalam mengelola masyarakatnya yang sangat plural. Menurutnya, Indonesia mempunyai lebih dari 17.000 pulau, dengan ratusan bahasa, budaya, agama, dam adat istiadat.
Menag menjelaskan bahwa penganut agama-agama di Indonesia memiliki dasar yang kuat terkait kenapa kami dapat bersatu dalam perbedaan. Dasar tersebut adalah kesadaran bahwa perbedaan itu fitrah.
“Perbedaan itu adalah fitrah. Jika tidak menerima perbedaan, berarti kita mengingkari fitrah kemanusiaan,” tegas Menag.
Namun, hal ini tidak berarti Indonesia tidak mempunyai konflik. Di Indonesia juga terjadi beberapa konflik. Bahkan, Indonesia juga mempunyai pengalaman terkait sejarah panjang pergulatan pemikiran yang sangat intens terkait relasi Islam dan negara.
“Alhamdulillah, Islam Indonesia telah menetapkan pilihan terbaiknya. Dengan modal seperti itu, Indonesia tepat jika dijadikan sebagai laboratorium kerukunan antar umat beragama dalam sebuah negara,” tutup Menag.*