Hidayatullah.com—Di Belanda, negara yang tokoh-tokoh dan medianya kerap menuding negara-negara Asia dan Afrika melakukan pelanggaran HAM dan sengit terhadap imigran Muslim di Eropa, serta mencitrakan negerinya sebagai negara pengusung HAM dan pluralitas, ternyata lembaga-lembaga pendidikan dasarnya menerapkan kebijakan rasis.
Sekolah-sekolah dasar secara struktural menolak untuk menerima anak-anak berlatarbelakang etnis minoritas sebab mereka takut hal itu akan menurunkan nilai tes siswa yang berpengaruh pada penilaian performa sekolah. Demikian dikatakan para pakar dari institut multikultural Forum dilansir media Belanda Trouw yang dikutip Dutch News Jumat (26/4/2013).
Sekolah-sekolah takut anak-anak yang tidak berbahasa Belanda sebagai bahasa utamanya, dan “terbelakang” dalam hal-hal lainnya, akan berdampak negatif terhadap skor Cito, kata Forum. Sebagian besar murud sekolah dasar mengambil ujian Cito di tahun terakhir pendidikan mereka. Skor Cito yang diraih anak-anak itu menentukan penilaian baik/buruk performa sekolah mereka.
Selain takut mutu sekolahnya dianggap jeblok, sekolah juga tidak ingin kelihatan terlalu “hitam” dikarenakan banyak siswa mereka yang berkulit hitam. Pemandangan “hitam” itu, akan mengurangi minat orangtua murid berkulit putih untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah dasar tertentu, imbuh Forum.
“Ini tidak baik untuk integrasi dan kita akan berujung dengan masyarakat yang paralel,” kata Forum.
Penelitian mengenai sikap sekolah dasar terhadap aak-anak kulit berwarna di Belanda itu dilakukan oleh KBA (lembaga penelitian tentang pendidikan dan pelatihan kejuruan dan pasar tenaga kerja) biro Nijmegen yang melibatkan wawancara dengan puluhan orangtua dan 12 kepala sekolah serta pegawai pemerintah, lapor Trouw.
Zeki Arslan, pakar pendidikan di Forum kepada Trouw mengatakan bahwa meskipun penelitian itu kecil, namun keluhan mengenai diskriminasi dalam pendidikan di Belanda sudah berlangsung setidaknya 25 tahun.
Menurut Arslan penelitian itu menunjukkan bahwa para praktisi pendidikan juga mengetahui kalau diskriminasi itu terjadi secara struktural. Dan hal itu, kata Arslan, “terjadi di sebuah negara di mana kita memiliki kebebasan untuk memilih pendidikan.”
“Saya berharap penelitian kecil ini akan menggiring kementerian untuk menggelar proyek penelitian yang lebih besar,” imbuhnya.
PO-Raad, asosiasi dewan sekolah, mendukung sikap Forum. Jurubicaranya mengaku bahwa organisasinya juga mendengar sinyal serupa. “Dan jika ini terjadi, maka hal itu tidak dapat diterima,” ujarnya.
Sekitar 12% sekolah-sekolah dasar di Belanda menampung lebih dari 50% murid berlatarbelakang etnis minoritas. Di mana para orangtua muris etnis minoritas mengalami kesulitan besar untuk mendaftarkan anak mereka di sekolah orang kulit putih, lapor Trouw.
Kesulitan itu itu berkisar dari perasaan tidak diterima oleh sekolah dan penghuninya, hingga harus masuk dalam daftar tunggu yang sangat lama. Dalam banyak kasus, orangtua murid etnis minoritas disuruh mendaftar ke sekolah “campuran” yang banyak kendala bahasa.*