Hidayatullah.com—Seorang diplomat Suriah Lama Ahmad Iskandar dibesarkan di sebuah rumah di mana sebuah foto besar dari diktator Suriah Hafez Assad, ayah Bashar Al Assad menempati posisi mencolok di ruang tamu.
Itu tidak aneh bagi rumah keluarga Lama karena dia adalah putri dari menteri informasi paling terkenal dari rezim Assad, Ahamd Iskandar Ahmad.
Namun, pembelotan Lama menjadi tidak mungkin mengingat bahwa dulu dia adalah seorang penasihat yang baru diangkat di kedutaan rezim Assad di Islamabad di Pakistan. Lama, yang turun dari sekte yang berkuasa; Alawi, putri dari Menteri Informasi yang menciptakan mitos diktator Suriah, Hafez Assad, dalam imajinasi rakyat Suriah.
Lama ingin membuat semua sejarah itu sebagai bagian dari pesan darinya ketika dia membelot pada Juni 2013 setelah beberapa bulan persiapan dengan Tentara Pembebasan Suriah.
Lama Ahamd memandang kasusnya sebagai contoh bagi banyak pendukung rezim yang salah arah atau tertipu.
“Saya belum mendengar tentang apa yang terjadi di Tal al-Zaatar, sebuah kamp pengungsi Palestina di mana pasukan Assad melakukan pembantaian terhadap warga Palestina pada bulan Agustus 1976, sampai tahun 2000. Itu adalah kejutan pertama saya,” ujarnya dikutip Orient Net dari Al-Quds Al-Araby Selasa (12/04/2016).
Lama kemudian menjelaskan suasana di mana ia dibesarkan.
“Ayah saya adalah menteri informasi Assad selama sepuluh tahun – antara tahun 1973 dan 1983 – foto Hafez Assad di atas kepala kami di rumah. Sulit dipercaya bahwa teladan Anda dalam kehidupan sebenarnya seorang penjahat. ”
“Pertanyaan pertama saya muncul ketika saya adalah seorang mahasiswa di Universitas Damaskus di mana saya belajar di Fakultas Perdagangan. Profesor kami kemudian adalah Prof. Aref Dalila, ekonom Suriah yang terkenal, yang membantu kami menemukan fakta-fakta baru. Prof. Dalila mengatakan pada saya: “Anda membela penjahat.” Dia menceritakan kepada saya tentang Tal al Zaatar untuk pertama kalinya, “kata Lama.
Setelah kejadian itu, Lama pergi ke arsip ayahnya, pria yang selalu ia percaya, Saya menemukan bahwa ia menulis, mereka melakukan kesalahan yang mengerikan di Tal al-Zaatar. Kemudian ketika Lama bekerja di kementerian luar negeri, ia menyadari gambaran nyata dari rezim Assad. Dia menemukan bahwa korupsi adalah suatu proses yang sistematis dan sadar bahwa dia memiliki dua pilihan saja: baik bekerja dengan jaringan mafia dari rezim atau pindah.
Lama meneruskan kisahnya yang dimulai dengan Arab Spring. Dia berkata pada dirinya sendiri, ketika dia dulu berada di Kingdom of Silence, bahwa ia akan bertekad untuk bergabung dengan pemberontakan apa saja di Suriah jika terjadi di sini.
Lari dari pekerjaannya selalu merupakan sebuah pilihan namun hal tersebut menakutkan karena siapa saja yang mungkin melakukan hal itu akan dikenakan tuntutan.
“Mata pemantauan rezim itu terbuka lebar,” tambah Lama.
“Saya dulu tinggal di lingkungan Yusuf al-Azma. Saya harus menyetir mobil sehari-hari dekat persimpangan Darayya dan Muadamiyah. Saya tidak membesar-besarkan jika saya mengatakan bahwa selalu ada mayat baru yang tergeletak di jalan setiap hari. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya melaju pergi, ” kata Lama sementara air mata menetes dari matanya.
Lama, dirinya, menjadi saksi dua pembantaian yang terjadi di dekatnya rumahnya. Yang pertama terjadi di Jdaidet al-Fadl dan yang kedua di Jdaidet Artouz pada bulan Agustus 2012.
“Ya, saya menyaksikan mereka. Darah masih ada di atas tanah, “kata Lama.
Lama kemudian melanjutkan.
“Ada sebuah peluncur rudal di sebelah rumah kami; kami takut. Kami tinggal di rumah selama empat hari dan pintu ditutup. Kami mendengar segala sesuatu dan suara orang-orang. Kemudian mereka menumpuk mayat-mayat dan membakar mereka. Baunya di mana-mana,” ujarnya.*/Karina Chaffinch