Hidayatullah.com—Kepala dinas intelijen Amerika Serikat CIA, John Brennan, mengatakan dirinya tidak optimis tentang masa depan Suriah tetap menjadi satu negara.
“Saya tidak tahu, bisa tidak Suriah dipulihkan kembali seperti semula,” kata Brennan dalam pertemuan tahunan Aspen Security Forum di Colorado, AS, hari Jumat (29/7/2016) seperti dilansir Aljazeera.
“Sudah banyak sekali darah yang tertumpah, saya tidak tahu apakah kita akan bisa kembali ke [Suriah bersatu] semasa hidup saya,” imbuh Brennan.
Menteri Luar Negeri AS John Kerry bulan Februari lalu mengutarakan kekhawatiran yang sama. Ketika itu dia mengatakan akan beranjak ke “Rencana B” yang bisa termasuk di dalamnya pembagian wilayah Suriah, jika gencatan senjata tidak dapat diwujudkan setelah perundingan damai bulan Maret.
“Mungkin sudah terlalu terlambat untuk tetap mempertahankan keutuhan Suriah jika kita menunggu lebih lama,” kata Kerry kepada komite hubungan internasional di Senat Amerika Serikat.
Meskipun demikian, Kerry tidak secara langsung menyarankan pemecahan wilayah Suriah sebagai solusi untuk mengakhiri konflik.
Beberapa pekan setelah Kerry mengutarakan pendapatnya, utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Suriah Stevan de Misruta mengatakan kemungkinan pembentukan negara federal di Suriah belum disingkirkan dari meja perundingan.
Ketika itu, kekuatan-kekuatan besar di dunia yang ikut serta dalam perundingan yang disponsori PBB guna mengakhiri konflik Suriah membicarakan potensi federalisme. Dengan bentuk federal, masing-masing wilayah di Suriah bisa memiliki hak otonomi yang lebih luas, sementara mereka tetap tergabung dalam satu negara.
“Semua orang Suriah menolak pembagian (pemecahan) Suriah dan federalisme bisa didiskusikan dalam perundingan-perundingan,” kata De Misruta kepada Aljazeera bulan Maret silam.
Presiden Bashar Al-Assad berjanji pada bulan Juni lalu akan “membebaskan setiap inci” wilayah negaranya yang lepas ke tangan pasukan pemberontak (oposisi).
Menurut perkiraan PBB, setelah lima tahun perang berkecamuk di Suriah hampir 400.000 orang tewas, sekitar 11 juta orang meninggalkan rumah-rumah mereka, wilayah Suriah terbagi-bagi dan dikuasai masing-masing oleh pasukan pemerintah dan sekutunya, pasukan Kurdi, berbagai kelompok oposisi, dan ISIS alias Daesh.
Kelompok oposisi Suriah sudah menyatakan menolak bentuk negara federal.
“Penyebutan apapun tentang federalisme atau sesuatu yang mungkin diarahkan untuk memecah Suriah tidak akan diterima sama sekali,” kata Riad Hijab, koordinator untuk tim negosiasi oposisi High Negotiation Committee (HNC), ketika usulan negara federal itu dikemukakan bulan Maret lalu.
Sebaliknya, kelompok Kurdi Suriah PYD, yang memiliki pengaruh luas di daerah-daerah tempat tinggal orang-orang Kurdi, dan sejumlah kelompok aliansinya, bulan Maret mengumumkan rencana pembentukan federasi otonom di bagian timur laut Suriah.
Wilayah otonomi itu, yang dikenal dengan sebutan Rojava, mencakup Jazira, Kobani dan Afrin. Ketiganya adalah daerah yang berada dalam kontrol pasukan Kurdi.*