Hidayatullah.com–Sebuah dokumen berjudul “Kesepakatan Prosedur Kompensasi ‘Israel’ untuk Warga Turki Korban Tewas Mavi Marmara” dalam tiga bahasa (Turki, Inggris dan Ibrani) diterima oleh Sahabat Al-Aqsha. Pada dokumen itu, ada dua tanda tangan milik Duta Besar Turki untuk ‘Israel’ Feridun Hadi Sinirlioglu dan Duta Besar ‘Israel’ untuk Turki Dore Gold.
Berbeda dengan Indonesia yang tak punya hubungan diplomatik karena tak pernah mengakui penjajah Zionis ‘Israel’ sebagai negara, Turki sekular sejak lama memiliki hubungan diplomatik dengan penjajah Zionis ‘Israel’. Baru di era Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan berbagai kejadian menyebabkan hubungan itu merenggang.
Dokumen kompensasi untuk keluarga Syuhada Mavi Marmara itu dibagikan kepada sekitar seratus hadirin di markas organisasi kemanusiaan IHH di Istanbul Kamis, (20/10/2016), sehari sesudah sidang ke-13 pengadilan kasus Mavi Marmara.
Ketua Tim Pengacara IHH Gulden Sonmez menjelaskan, “Zionis ‘Israel’ telah mentransfer US$ 20 juta ke rekening Kementerian Hukum Republik Turki sebagai salah satu syarat normalisasi hubungan antara kedua negara.” Uang itu disebut sebagai “donasi untuk keluarga Syuhada”. “Jadi ini bukan kompensasi yang diminta oleh keluarga Syuhada,” tegas Gulden.
Ismail, putra salah seorang Syahid bernama Cengiz Songür menegaskan dengan suara tenang, “Tujuan ayah saya dan ratusan relawan lainnya, berangkat ke Gaza waktu itu untuk mendobrak blokade atas Jalur Gaza. Ayah saya mati di Jalan Allah untuk itu. Kami tidak akan terima uang sebesar apapun, dari siapapun, sebelum Zionis ‘Israel’ berhenti memblokade Gaza dan berhenti menzhalimi Palestina.”
Pernyataan itu ia sampaikan menjawab pertanyaan Sahabat Al-Aqsha di hadapan para relawan, keluarga Syuhada, pengacara dan aktivis.
Ketika diminta ikut menjawab, Çigdem istri Syahid Çetin Topçuoglu sambil tersenyum menyatakan, seluruh keluarga Syuhada baik yang hadir maupun yang tidak, mewakilkan jawabannya kepada Ismail.
Cengiz Songür ayah Ismail ditembak persis di lehernya oleh serdadu Zionis ‘Israel’ yang menyerbu kapal kemanusiaan Mavi Marmara, ba’da subuh, 31 Mei 2010. Cengiz salah satu dari sepuluh relawan yang terbunuh. Lebih dari 150 orang luka-luka akibat agresi bersenjata itu.
Pengadilan atas kasus ini sudah berlangsung 13 kali di Istanbul dan berkali-kali di Athena, Johannesburg, dan Madrid. Tujuannya sama, menyeret empat jenderal Zionis ‘Israel’ ke penjara atas serbuan brutal di perairan internasional itu.
Selama enam tahun sesudah peristiwa Mavi Marmara, hubungan Turki dan ‘Israel’ memburuk. Kedua negara saling menarik duta besarnya. Namun sejak sebelum Ramadhan kemarin suasana berbalik, Turki dan Zionis ‘Israel’ sepakat menormalkan kembali hubungannya. Salah satu syarat yang diajukan Turki, kompensasi US$ 20 juta untuk keluarga Syuhada Mavi Marmara.
Mewakili keluarga Syuhada dan IHH, Gulden menyatakan bisa memahami keputusan pemerintah Turki itu. Tapi, “Kami dengan tegas menentang keputusan normalisasi itu. Kami minta keputusan politik itu tidak menjadi alasan untuk mengintervensi kasus Mavi Marmara dalam menuntut keadilan.”
Sehari sebelum pertemuan di markas IHH itu, pada sidang ke-13 Pengadilan Mavi Marmara (19/10/2016) sempat terjadi ketegangan karena tim pengacara menuntut seluruh anggota majelis hakim diganti karena “sudah tidak bisa dipercaya”.
Menurut Tim Pengacara IHH, kepercayaan itu hilang karena pada sidang ke-12, majelis hakim meminta pendapat pemerintah Turki tentang kasus ini. Sedangkan pemerintah Turki tengah menjalankan proses politik dengan Zionis ‘Israel’. Tim Pengacara menganggap, dengan begitu majelis hakim telah kehilangan independensinya dalam mengadili perkara ini.
“Kita akan lanjutkan proses hukum ini sampai empat jenderal itu dijatuhi hukuman setimpal,” tukas Gulden. Muslimah berjilbab lebar dan berkaca mata itu menyadari, jalan ini susah, berat dan panjang, “Tapi kita akan terus melakukan apa yang bisa kita lakukan.” *