Hidayatullah.com—Lebih dari setahun setelah melakukan 27 push-ups di altar sebuah gereja Katolik di Jerman, seniman Alexander Karle didenda oleh pihak berwenang setempat, menyusul rekaman video aksinya itu meluas di dunia maya.
Sebuah pengadilan di Saarbrucken mendenda Karle 700 euro (sekitar 9,9 juta rupiah) setelah video yang menampakkan pria berusia 38 tahun itu melakukan push-ups di atas sebuah altar di St John’s Basilica, lapor kantor berita Jerman DPA seperti dilansir RT Kamis (19/1/2017).
Setelah video itu dipamerkan di sebuah pusat kesenian akhir Februari tahun lalu, paroki gereja itu menggugat Karle dengan tuduhan menistakan tempat ibadah.
“Agama Kristen mengharapkan diperlakukan secara terhormat,” kata pendeta lokal Eugen Vogt kepada Zeitung für Saarbrücken, menggambarkan aksi itu sebagai “provokasi dan penghinaan.”
Karle awalnya didenda 1.500 euro oleh Kantor Kejaksaan Umum karena mengganggu aktivitas keagamaan dan masuk secara ilegal ke sebuah gereja yang sebenarnya tertutup untuk umum.
Kejaksaan menggarisbawahi fakta bahwa seniman itu “dengan sadar dan sengaja menggunakan altar untuk tujuan di luar peruntukannya dan melakukan olah fisik, serta menaikinya dengan memakai sepatu.”
Aksi itu juga disebut jaksa tidak memiliki relevansi artistik dan untuk melakukan push-ups tidak mengharuskan kondisi adanya hak kebebasan berbicara dan kreativitas ekspresi diri si seniman.
Karle, mahasiswa jurusan seni sebuah universitas lokal, menolak membayar denda yang ditetapkan jaksa. Dia mengatakan ingin “mempelajari kaitan antara agama dan perlunya mematuhi standar tinggi berkaitan dengan waktu.” Dia bersikukuh apa yang dilakukannya adalah sebuah pertunjukan artistik. Oleh karena itulah kasusnya kemudian diajukan ke pengadilan.
Proses persidangan atas Karle dilakukan pada hari Selasa (17/1/2017) dan pemuda itu sengaja membuat lima laman Facebook dengan judul “Screening: Pressure to Perform khusus membahas persidangan yang dijalaninya.
Di laman itu dia mempertanyakan apakah aksinya adalah satu tindak kejahatan atau “kita memiliki hak demokratis untuk dengan bebas mengekspresikan opini kita melalui intervensi artistik,” seraya menambahkan bahwa aksinya dilakukan bukan untuk menyerang gereja.
Karle digambarkan melakukan aksinya yang direkam antara 24 Desember 2015 dan 10 Januari 2016 dengan “sangat khidmat.” Menurut
media setempat, dia menyingkirkan dan memasang kembali kain putih penutup altar dengan sangat hati-hati.
“Pada awalnya, Gereja Katolik menekankan pada non-materialisme, hanya itu, misalnya ‘masalahnya bukan soal altar suci itu sendiri, melainkan apa yang diwakili oleh altar tersebut.’ Dan hal itu sekarang sudah berubah,” kata Karle kepada majalah Süddeutsche Zeitung
“Sekarang, kita mendapati situasi di mana hal-hal material lebih berharga dibanding manusia atau perasaan. Saya ingin membawa kembali perhatian publik kepada hal itu, dengan menggabungkan dua hal dalam satu cara yang belum pernah dilihat sebelumnya dan yang dapat memicu diskusi panjang lebar.”*