Hidayatullah.com—Presiden Prancis Emmanuel Macron menandatangani undang-undang anti-teror yang konstroversial hari Senin (30/10/2017), menandai diakhirinya status negara dalam keadaan darurat.
Undang-undang baru itu memberikan wewenang kepada aparat keamanan untuk menutup permanen tempat-tempat peribadatan yang dianggap menyuburkan terorisme, melindungi atau menyembunyikan tersangka teror, serta menggeledah rumah tersangka teror tanpa meminta izin pengadilan terlebih dahulu. Polisi juga diberi wewenang untuk meminta dokumen identitas dari siapa saja yang dianggap mencurigakan di daerah perbatasan, pelabuhan, stasiun kereta dan bandara.
“Undang-undang ini memungkinkan kita untuk mengakhiri keadaan darurat terhitung 1 November, sekaligus memastikan keamanan warga negara kita,” kata Macron saat menandatangani dokumen UU tersebut, yang disetujui mayoritas anggota parlemen awal bulan ini, seperti dilansir Deutsche Welle.
Rancangan undang-undang tersebut sempat mengundang perdebatan sengit di parlemen selama dua pekan. Para pengkritiknya berpendapat, peraturan baru itu potensial digunakan untuk menggerus kaum minoritas, khususnya Muslim. Macron berjanji bahwa UU baru itu akan dikaji ulang setelah diberlakukan selama dua tahun.
Menurut jajak pendapat yang digelar koran terkemuka Le Figaro, sebanyak 57 persen masyarakat Prancis mendukung kebijakan tersebut. Meskipun demikian, 62 persen publik sepakat bahwa kebijakan itu akan membatasi kebebasan dasar publik.
Menteri Dalam Negeri Gerard Collomb membela UU itu, dengan mengatakan “setiap orang menyadari bahwa kita memerlukan keseimbangan antara keamanan dan kebebasan, dan saya yakin teks [UU] ini memenuhi kebutuhan itu.”
Selama Prancis memberlakukan keadaan darurat, menyusul serangkai aksi teror di Paris yang menewaskan 130 orang pada November 2015, tidak kurang dari 11 tempat ibadah telah ditutup karena dianggap “memicu aksi-aksi terorisme” dan sebanyak 41 orang telah ditetapkan dalam tahanan rumah karena menampung simpatisan ekstrimis.*