Hidayatullah.com–Hari Ahad, Prancis membawa pulang tropi Piala Dunia 2018 –yang pertama setelah 20 tahun – mengalahkan Kroasia dengan skor 4-2.
Ketika para penggemar sepakbola merayakan kemenangan setelah lama ditunggu-tunggu, pengguna media sosial memiliki tujuan yang berbeda.
Retorika dan standar ganda Islamofobia Prancis segera menjadi topik diskusi, karena banyak yang mengingatkan dunia bahwa Tim Nasional Prancis termasuk tujuh pemain Muslim yang unggul selama pertandingan terakhir.
Di banyak negara di seluruh Eropa , “Muslim akan disemangati dan diperjuangkan jika mereka luar biasa, menghibur dan memajukan kepentingan nasional,” tulis salah satu pengguna Twitter.
Tapi, ketika seorang Muslim melakukan kejahatan , hampir 1,8 miliar pemeluk Islam disalahkan, dipermalukan, dan diseret ke dalam kumpulan preman pembunuh.
“Islamophobia merajalela di Prancis, tetapi Muslim memimpin Prancis ke kemenangan Piala Dunia,” ujar ujar Profesor dari Universitas Detroit Khaled Beydoun dalam bidang hukum yang intens melawan gerakan islamophobia.
Baca: Arab Saudi Hadiahkan Bintang Liverpool Mohammad Salah Tanah di Makkah
Melalui akun twitternya, penulis buku American Islamophobia: Understanding the Roots & Rise of Fear (Islamophobia Amerika: Memahami Akar dan Kebangkitan Ketakutan).
“Islamophobia merajalela di Prancis: Larangan jilbab, 60% dari narapidana adalah Muslim dan Islam diposisikan sebagai “bertentangan dengan identitas Prancis. Tetapi Muslim memimpin Prancis meraih kemenangan dalam #WorldCup.
“Di Eropa, umat Islam akan disemangati dan diperjuangkan jika mereka luar biasa, menghibur dan memajukan kepentingan nasional, tulis @KhaledBeydoun dikutip laman StepFeed.
Seperti diketahui 15 dari 23 skuad Timnas Prancis keturunan imigran Afrika. 7 dari 23 skuad Timnas Prancis adalah Muslim. 3 dan 4 gol kemenangan Prancis di pertandingan final dicetak pemain keturunan imigran (Afrika dan Eropa).
Selamat telah memenangkan #WorldCup.
“80% dari tim Anda adalah orang Afrika, 50% dari tim Anda adalah Muslim, hentikan rasisme, xenophobia dan islamophobia di Prancis.Orang Afrika dan Muslim membantu Prancis merebut gelar Piala Dunia untuk kedua kali, sekarang berikan mereka keadilan,” tulis Khaled Beydoun.
Pemain sepakbola Perancis-Muslim Paul Pogba – yang dianugerahi Penghargaan Pemain Muda Terbaik selama Piala Dunia 2014 – setelah banyak mencetak gol selama turnamen.
Foto dirinya bersama pesepakbola Muslim Djibril Sidibé melakukan sujud syukur segera menjadi viral seluruh dunia.
Baca: Pendukung Liverpool akan ‘Jadi Muslim’ jika Mohamed Salah Cetak Gol
Pesepakbola Muslim lainnya di Tim nasional Prancis termasuk Adil Rami, Benjamin Mendy, N’Golo Kanté, Nabil Fekir, dan Ousmane Dembélé.
Kashif N Chaudhry, seorang dokter di Englewood yang sering mengkampanyekan gerakan melawan isIamophobia di Prancis menulis ciutan di akun twitternya. Menyindir standar ganda terhadap Islam di Prancis. “Jika aku mencetak gol, aku orang Prancis. Jika tidak, aku orang Arab,” katanya melalui akun @KashifMD.

MITOS: “Islamophobia di Prancis tidak ada” tulis Khaled Beydoun dalam ciutan di akun @KhaledBeydoun. Realitasnya, tulis Khaled, jilbab dilarang di negeri ini, 60% narapidana di Prancis adalah Muslim, juga adanya ‘program pengawasan massal’ terhadap komunitas Muslim.
Foto-foto para pesepakbola yang mempraktikkan simbol-simbol iman Islam banyak dibagikan di media sosial. Salah satunya foto N’Golo Kante saat ibadah umrah di Tanah Suci Makkah al Mukarramah.
N’Golo Kante menjadi salah satu pemain Muslim yang mampu menembus skuat utama Prancis di Piala Dunia 2018. Kante yang ditugasi mengisi pos gelandang bertahan oleh pelatih Prancis, Didier Deshamps, disebut legenda sepak bola Inggris Garry Lineker sebagai ‘pemain terbaik di Piala Dunia 2018’.
Sebagian yang lain memberikan pendapat terkait fenomena sepakbola ini bahwa, “Migrasi sedang mengubah Eropa – jauh lebih baik.”
Di tengah krisis pengungsi terbesar sejak sejak Perang Dunia II, fenomena ISIS dalam kesadaran global dan gerakan nasionalis sayap kanan, dunia Arab dan Muslim telah menjadi target utama para politisi Barat.
Para pemimpin sayap kanan Eropa memanifestasikan posisi Islamofobik mereka dalam banyak kesempatan.
Pemimpin Barisan Nasional Prancis, Marine Le Pen, hadir di pengadilan Lyon untuk menghadapi dakwaan memicu kebencian rasial karena menyamakan umat Islam yang shalat di jalan dengan pendudukan Nazi.
Bahkan, Prancis Marine Le Pen – yang meluncurkan tawaran kedua untuk menjadi Presiden Prancis pada 2017 – diadili pada 2015 karena pidato kebencian anti-Muslim.
Dia telah menjadi lawan vokal dari hijab dan niqab di Prancis, serta menganjurkan pembatasan daging halal dan mengkritik ruang shalat di tempat kerja.
Pada 2017, ia menarik perhatian media setelah menolak mengenakan menggunakan jilbab saat bertemu dengan Grand Mufti Libanon, selama kunjungan ke negara itu.
Pada tahun 2011 dan 2015, tokoh rasis, anti imigran, anti Muslim, dan anti semit ini justru menduduki peringkat di antara 100 orang paling berpengaruh versi majalah Time.
Meski pesan-pesan Lepen sangat rasis namun banyak menarik dukungan yang lebih banyak di Prancis.
Pada tahun 2016, Le Pen dinobatkan sebagai Anggota Parlemen Eropa (MEP) kedua paling berpengaruh di Parlemen Eropa versi Politico.*