Hidayatullah.com–Ketika anak perempuan Uala berumur 12 tahun mulai mengalami pendarahan, Siam mengira itu terjadi karena haid. Namun setelah 45 hari, mulai terlihat jelas ada sesuatu yang salah dengannya.
Itu terjadi pada Agustus 2017, Siam dan anak perempuannya sedang bekerja di sebuah rumah kaca di salah satu dari ratusan perkebunan di wilayah Mafraq di utara Jordania. Pada musim panas, temperatur mencapai 35 atau 40 derajat celcius (95 hingga 104 derajat Farenheit), biasanya 10 derajat lebih panas di dalam rumah kaca.
Siam berasal dari Aleppo. Lima tahun lalu dia tidak mempunyai pilihan selain ikut bergabung dengan suaminya, yang sudah bekerja di Mafraq sejak 2005. Selama beberapa tahun terakhir, wanita Suriah yang bekerja memetik tomat atau timun yang telah menjadi pemandangan umum di ladang-ladang Badia Shmali, sebutan daerah itu.
Upah bagi pengungsi Suriah sama di manapun: 1 dinar Jordania ($1,41) per jam, mendorong seluruh keluarga, termasuk anak-anak, untuk bekerja 10 hingga 12 jam sehari, tergantung cuaca.
“Awalnya sangat sulit. Saya dan suamiku menangis ketika kami harus mengirim anak perempuan berumur 11 tahun kami untuk bekerja,” Siam mengatakan pada Al-Monitor.
Baca: Perempuan Suriah Berupaya Menikah Secara Virtual di Tengah Kesulitan
Namun kembali ke Suriah bukanlah pilihan. Siam akhirnya menikahkan anak perempuan tertuanya pada tahun lalu ketika dia berumur 15 sehingga dia dapat berhenti bekerja di ladang. Itulah ketika Uala menggantikan kakaknya, setidaknya hingga tahun lalu.
Setelah 45 hari pendarahan, Siam membawa anak perempuannya Uala ke rumah sakit di Mafraq. Dokter mengatakan dia mungkin sakit karena kepanasan di rumah kaca. Namun Siam tidak mampu membayar pemeriksaan yang direkomendasikan dokter, sehingga mereka masih tidak mengetahui apa yang terjadi. Siam tinggal dengan keluarganya di sebuah tenda berjarak 10 menit dari perkebunan di mana dia bekerja dengan anak perempuan dan saudaranya. Khawatir akan kesehatan anak perempuannya, dia memutuskan tidak mengirim kembali untuk bekerja musim panas ini. Dia tidak memiliki pilihan lain selain mengirim adik perempuan Uala, yang akan berumur 12 tahun.
Setiap hari saat fajar, sebuah mobil menjemput mereka semua dari kamp sementara di mana mereka tinggal dan membawa mereka ke kebun milik Abu Hamza.
Wajah mereka ditutupi selendang sebagai perlindungan dari debu, sekelompok perempuan berumur 15 hingga 50 tahun bekerja dengan tangan kosong atau menggenakan sarung tangan karet yang robek, membungkuk di bawah terik matahari.
Setiap musim panas, Abu Hamza mempekerjakan sekitar 100 pekerja. “Semuanya warga negara Suriah, dan 70% dari mereka perempuan. Saya lebih memilih perempuan karena mereka tidak banyak mengeluh dan tidak banyak berulah,” dia mengatakan pada Al-Monitor sementara mengawasi sekelompok pekerja menyiangi sebuah kebun tomat.
Upah para pekerja Suriah juga lebih murah daripada Mesir, katanya. Ketika Kementrian Tenaga Kerja Jordania mulai memberi para pengungsi Suriah izin kerja di akhir tahun 2016, kementrian juga memperketat pembatasan terhadap pekerja Mesir sehingga lebih mudah bagi para petani mempekerjakan warga negara Suriah.
Hasil dari kesepakatan 2016 antara Uni Eropa dan Jordania – dikenal sebagai Jordan Compact atau Perjanjian Jordania – Kementrian Tenaga Kerja juga mempermudah para pekerja pertanian dalam mendapatkan izin kerja.
Namun terlepas dari upaya-upaya tersebut, semua perempuan yang Al-Monitor wawancarai bekerja tanpa memiliki perizinan. Kebanyakan dari mereka mengaku memiliki hubungan baik dengan majikan mereka, tetapi jika muncul permasalahan mereka tidak mungkin mengajukan keluhan karena takut terjadi pembalasan.
Sedikit data resmi yang berhasil Al-Monitor dapat. Organisasi Tenaga Kerja Internasional (ILO) memperkirakan sekitar 4%-5% pengungsi Suriah yang bekerja di Jordania dipekerjakan di sektor pertanian.
“Dibandingkan dengan sektor pembangunan atau sektor lain, tidak terlalu banyak, namun kondisinya sangat sulit dan memprihatinkan,” Maha Katta, koordinator ILO untuk menanggapi krisis pengungsi Suriah, mengatakan pada Al-Monitor.
Direktur organisasi non-pemerintah (NGO) Jordania Tamkeen Linda al-Kalash mengatakan pada Al-Monitor bahwa sekitar 20.000 warga negara Suriah, terutama perempuan, bekerja di Mafraq hingga Lembah Jordania. Namun sejauh ini hanya 31.074 izin kerja yang dikeluarkan Kementrian Tenaga Kerja kepada warga negara Suriah di sektor pertanian. Alasannya sederhana:
“Warga negara Suriah mendapatkan izin pertanian karena itu yang paling mudah didapat, namun kemudian mereka mulai bekerja di sektor yang berbeda,” kata Katta.
Baru-baru ini ILO melakukan survei diantara 1.400 pekerja pertanian Suriah, kata Katta. “Kekhawatiran utama kami ialah tenaga kerja anak-anak. Kebanyakan dari para keluarga bekerja sebagai sebuah kelompok, 60% dari mereka hidup di tenda-tenda dan kebanyakan dari anak-anak itu tidak bersekolah.”
Baca: Pilu di Aleppo, Perempuan Izin Bunuh Diri untuk Hindari Teror Perkosaan Rezim Bashar
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurut Katta, situasi itu merupakan lingkaran setan: Perang di Suriah dan kekacauan di Iraq telah membuat produk ekspor tidak menentu keadaannya, memberi pukulan keras pada para petani. Pada saat itu sektor tersebut menarik para pekerja yang tidak terampil. Tetapi itu memiliki potensi besar.
“Investasi sangat dibutuhkan untuk membuatnya lebih menguntungkan dan efisien, dan untuk mempertahankan adanya air. Masalahnya adalah para pendonor internasional tidak ingin berinvestasi di sebuah sektor di mana eksploitasi tenaga kerja menjadi masalah berat,” kata Katta.
Kekerasan karena gender juga merupakan masalah. Jordania memiliki tingkat partisipasi perempuan di pertanian tertinggi di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), berdasarkan Organisasi Pertanian dan Makan PBB. Tamkeen menempatkannya sekitar 75% dan mengatakan hal itu akan terus meningkat.
Baru-baru ini, Tamkeen telah melakukan kelompok fokus dengan para warga negara Suriah yang bekerja di pertanian. “Namun perempuan sangat jarang berbicara,” Hanan, seorang fasilitator komunitas Suriah yang bekerja dengan Tamkeen di Jerash, mengatakan pada Al-Monitor.
Tapi seringkali, mereka tidak mengatakan apapun karena takut atau malu: honor killing atau pembunuhan demi kehormatan, tambah Bader, seorang fasilitator Jordania.
Ketika ditanya apakah dia khawatir yang terjadi kepada anak perempuan berumur 13 tahunnya karena perbuatan bejat laki-laki, Siam mengurangi suaranya dan mengatakan iya benar karena anak perempuannya masih sangat muda. Dia telah mendengar hal-hal buruk di tempat lain, katanya, namun dia meyakini tidak ada masalah di perkebunan di mana mereka bekerja. Meskipun begitu, mereka tidak mempunya pilihan lain.*/Nashirul Haq AR