Hidayatullah.com—Somalia mengusir utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nicholas Haysom dengan tuduhan “mempermalukan” organisasi dunia itu dengan bertindak seolah-olah dia adalah penguasa di negeri Afrika tersebut.
Sebelum diusir, Haysom mempertanyakan perihal pembunuhan para demonstran yang merupakan pendukung Mukhtar Robow, bekas pemimpin Al-Shabab yang sudah keluar dari kelompok bersenjata itu.
Pasukan keamanan Somalia diduga terlibat kematian sekitar 15 orang pengunjuk rasa dan menahan lebih dari 300 orang lainnya, kata PBB.
Pada 30 Desember 2018, Haysom menulis surat kepada pemerintah Somalia, mempertanyakan dasar hukum dari penangkapan Robow dan penangkapan para pendukungnya yang berdemonstrasi di Baidoa menentang penangkapan eks komandan Al-Shabab tersebut.
Mukhtar Robow, mantan wakil ketua Al-Shabab, meninggalkan kelompok bersenjata itu pada tahun 2017. Bulan Oktober lalu, dia mengumumkan keinginannya untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden atau kepala wilayah negara bagian Barat Daya Somalia.
Namun, pemerintah Somalia menjegal pencalonan dirinya dan aparat keamanan menangkapnya pada awal Desember 2018. Pemerintah beralasan Robow “belum melepaskan ideologi ekstrimisnya.”
Tidak jelas apakah pemerintah Somalia menjawab surat yang dikirimkan Haysom dan menanggapi masalah yang diangkatnya. Namun, Menteri Luar Negeri Somalia Ahmed Isse Awad mengatakan utusan PBB itu tidak lagi “diterima” di negaranya, lapor BBC Rabu (2/1/2019).
Haysom merupakan utusan PBB asal Afrika Selatan, yang pernah diutus PBB ke Afghanistan, Sudah dan Sudan Selatan. Haysom, yang berkulit putih, dulu pernah menjadi penasihat hukum bagi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela.
Dia ditunjuk sebagai utusan khusus Sekjen PBB Antonio Guterres di Somalia pada September 2018, dan diberi tugas membantu mewujudkan perdamaian di negara tersebut.
Somalia terjerumus ke dalam perang saudara sejak runtuhnya rezim Siad Barre pada tahun 1991.*