Hidayatullah.com– Ribuan pendukung ulama Syiah Irak pada hari Jumat mendesak para petinggi politik dan faksi agar menghindari konflik antara dua sekutu terbesar Baghdad, yakni Iran dan Amerika Serikat.
Pengunjuk rasa dari kelompok Moqtada al-Sadr, yang pernah memimpin milisi Syiah melawan pasukan AS dan secara vokal mengkritik pengaruh Iran di Irak.
Para demonstran berunjuk rasa di Lapangan Tahrir di pusat Kota Baghdad, di mana banyak dari mereka membawa bendera Irak, bunga putih dan balon, dan beberapa melepaskan merpati putih yang mewakili perdamaian, sambil meneriakkan, “tidak untuk perang” dan “ya untuk Irak” di pusat Kota Baghdad dan Kota Basra.
Warga Irak khawatir negara mereka akan terjebak dalam eskalasi ketegangan antara AS dan Iran, yang dipicu sebelumnya bulan ini saat pemerintah Presiden Donald Trump mengatakan akan mengirim pasukan tambahan ke Timur Tengah guna melawan dugaan ancaman termasuk dari milisi dukungan Iran di Irak.
Politisi dan pemimpin paramiliter Syiah menyerukan agar bersikap tenang sambil pemerintah Irak berupaya memposisikan diri sebagai mediator bagi kedua belah pihak.
“Kami baru saja mengalahkan ISIS. Irak tidak boleh dimanfaatkan sebagai basis yang berupaya membahayakan negara manapun. Amerika tidak ingin Irak stabil,” kata seorang pengunjuk rasa, Abu Ali Darraji dikutip Xinhua.net.
Aksi demonstrasi juga terjadi di kota suci kaum Syiah Karbala dan Kota Diwaniyah di Irak tengah dan selatan setelah seruan ulama Syiah untuk mengadakan demonstrasi di seluruh Irak.
“Saya tidak ingin perang antara Iran dan Amerika dan tidak ingin Irak menjadi medan perang seperti itu. Kami membutuhkan sikap serius dari para pemimpin negara untuk menjauhkan Irak dari perang seperti itu yang akan mengubah segalanya menjadi puing-puing , “Sadr menulis di halaman Twitter-nya sebelumnya.
Demonstrasi datang di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan itu setelah Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk tidak menerbitkan kembali keringanan sanksi bagi importir besar untuk terus membeli minyak Iran ketika mereka berakhir pada awal Mei.
Pada 15 Mei, Departemen Luar Negeri AS memerintahkan memerintahkan semua staf mereka di kedutaan di Baghdad dan konsulat di Erbil untuk pulang ke AS, di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dengan Iran, negara tetangga Irak.
Sebelumnya, militer AS mengatakan pasukan AS waspada tinggi di Irak dan Suriah karena kekhawatiran akan “ancaman yang akan terjadi” dari pasukan yang didukung Iran di kawasan itu.
Pada 19 Mei, sebuah Roket Katyusha menghantam daerah kosong di dekat kedutaan AS di Irak, yang tidak menimbulkan korban.
Amerika Serikat juga meningkatkan penumpukan militernya di wilayah ini baru-baru ini dengan mengerahkan sebuah kapal induk, pembom dan sistem anti-rudal, mengutip ancaman serangan Iran.
Ada spekulasi bahwa Sadr akan bergabung dengan para demonstran di Baghdad namun dirinya tak kunjung hadir. Pemimpin, yang blok politiknya muncul lebih dulu dalam pemilihan parlemen tahun lalu, merupakan sahabat baik Washington maupun Iran.*