Hidayatullah.com– Hampir seperlima anggota parlemen menandatangani resolusi yang mendesak presiden baru yang keturunan Yahudi untuk mengikuti jejak Donald Trump dengan secara resmi mengakui Baitul Maqdis (Jerusalem) ibu kota ‘Israel’, dan memindahkan kedutaan di sana.
Dari 450 anggota Verkhovna Rada, 86 telah menandatangani resolusi yang diajukan dalam pemungutan suara pada hari Jumat, kata situs berita Ukraina melaporkan.
Parlemen menyerukan “Presiden Ukraina, Kabinet Menteri Ukraina untuk memindahkan Kedutaan Besar Ukraina di ‘Israel’ ke ibu kotanya, Baitul Maqdis (Jerusalem),” dalam catatan penjelasan pada RUU tersebut dikutip Time of Israel.
“RUU tersebut juga mendesak Presiden Ukraina dan Dewan Menteri untuk segera merelokasi Kedutaan Besar Ukraina di ‘Israel’ ke kota suci umat Islam tersebut.”
Meski demikian pihak parlemen Ukraina belum menentukan tanggal pemungutan suara terhadap RUU itu.
Rada Verkhovna telah melihat beberapa inisiatif yang gagal agar Ukraina mengikuti pengakuan AS pada tahun 2017 tentang Jerusalem sebagai ibu kota ‘Israel’, tetapi masalah ini tidak pernah menerima dukungan dari begitu banyak anggota parlemen.
Bulan lalu, Vlodymyr Zelensky, aktor Yahudi, terpilih sebagai presiden Ukraina. Selama pidato pelantikannya, dia mengatakan Ukraina perlu “membela negara mereka seperti orang ‘Israel’,” selain “belajar hidup berdampingan seperti orang Swiss.”
6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump secara resmi mendeklarasikan bahwa Jerusalem ibu kota bagi ‘Israel’ dan merelokasi kedubesnya ke kota tersebut.
Keputusan Trump memindahkan kedutaan negaranya ke Baitul Maqdis (Jerusalem), kota masa depan Palestina, diputuskan dengan kebijakan luar negeri selama beberapa dekade dan menyebabkan Palestina memutuskan hubungan diplomatik dengan AS.
Setelah langkah AS, beberapa negara lain bersumpah untuk mengikutinya, meskipun beberapa sejak mundur atau memilih untuk membuka kantor perdagangan di kota sebagai gantinya. Saat ini di luar AS hanya Guatemala yang memiliki kedutaan di ibu kota.
Jerusalem Timur direbut ‘Israel’ dalam Perang Enam Hari 1967 dan kemudian dianeksasi dalam tindakan yang tidak pernah diakui oleh sebagian besar masyarakat internasional.*