Hidayatullah.com–Seorang pria gay yang berprofesi sebagai pengacara dan terjun ke dunia politik berharap dapat terpilih sebagai presiden Tunisia selanjutnya.
Mounir Baatour, ketua Partai Liberal, akan maju sebagai calon presiden dalam pemilu bulan November tahun ini, guna menggantikan Beji Caid Essebsi yang sudah berusia 92 tahun dan sakit-sakitan. Dia sudah mengumpulkan tanda tangan dukungan lebih dari 10.000 sehingga mencukupi persyaratan, meskipun parpol yang dipimpinnya terkategori partai gurem.
Pengacara berusia 48 tahun itu pernah menginap di Hotel Prodeo pada tahun 2013 karena sodomi. Kelompok pro-LGBT bentukannya, Shams, kerap menjadi target operasi kamtibmas.
Homoseksualitas itu sendiri tidak ilegal di Tunisia, meskipun pelaku hubungan seks sesama jenis akan dibui jika ketahuan. Tidak jelas apakah statusnya sebagai mantan terpidana sodomi akan menjadi penghalang hasratnya menjadi presiden.
Baatour, lulusan sebuah universitas Prancis, menekankan kampanyenya pada isu kebijakan ekonomi dan sosial seperti kenaikan upah, program bantuan untuk pengangguran. Dia tidak terlalu fokus mengangkat isu hak-hak LGBT.
“Itu merupakan salah satu poin dari program-program saya,” katanya kepada Euronews Sabtu (20/7/2019). “Saya kira kampanye saya tidak akan memfokuskan pada hak-hak LGBT. Saya punya program ekonomi, budaya, sosial. Saya akan menambah alokasi pelajar, memperhatikan pengangguran. Saya ingin meningkatkan upah di Tunisia.”
Menyusul pengumuman lewat Facebook bahwa dirinya akan mencalonkan diri sebagai presiden, Baatour mengaku mendapat respon beragam, sebagian positif dan sebagian negatif.
“Saya seorang warga negara Tunisia, saya memiliki karir sebagai pembela hak-hak asasi manusia, dan saya berharap menjadi presiden negeri ini. Adalah hak saya mempunyai ambisi seperti ini,” kata Baatour.
Dia sangat yakin dengan masyarakat Tunisia yang relatif liberal. Patut diketahui, meskipun secara geopolitik Tunisia dimasukkan sebagai salah satu negara Arab, tetapi penduduk negeri mayoritas Muslim yang terletak di bagian utara Afrika itu kehidupannya sehari-hari lebih mirip orang Eropa daripada Arab yang dianggap “konservatif”.
“Tunisia di bawah Presiden Bourguiba menghapuskan (melarang, red) poligami, memperbolehkan adopsi, memperbolehkan aborsi, mengakui hak-hak wanita,” kata Baatour. “Menurut saya negara ini adalah negara yang sangat moderen, negara yang sangat progresif. Kita tidak dapat membandingkan Tunisia dengan negara-negara Arab lain dalam hal kesetaraan atau hak-hak individual lainnya.”
Baatour memilih menjauh dari membicarakan partai-partai Islam yang merupakan arus utama dalam politik Tunisia saat ini. Dia menyebut politik kaum islamis sebagai “inkubator ekstrimisme dan antagonisme”.
“Saya mendukung kebebasan,” ujarnya. “Dan menurut saya yang lain tidak menghormati demokrasi.”
Partai kecil pimpinan pria homo ini juga mendukung normalisasi hubungan dengan Israel, yang ibukotanya Tel Aviv dikenal sebagai pusat dan surga kaum LGBT dunia.*