Hidayatullah.com–Akhir pekan kemarin Presiden Prancis Emmanuel Macron membuka untuk publik pameran agrikultur terbesar, Salon International d’Agriculture. Macron menghabiskan waktu sepanjang hari Sabtu (22/2/2020) untuk mengunjungi stan di sana satu per satu, tetapi dia kemudian dikepung oleh sekelompok petani dan aktivis yang khawatir dengan masa depan mereka.
“Dunia pertanian sedang diserang oleh kediktatoran ekonomi, baik di tingkat Prancis maupun global,” kata Nicolas Girod, jubir Confédération Paysanne, serikat petani terbesar ketiga di Prancis, seperri dikutip RFI Senin (24/2/2020).
Banyak petani kecil merasa tersisihkan oleh kebijakan Uni Eropa di bidang pertanian, Common Agricultural Policy (CAP).
Pada tahun 2018, CAP mendapatkan porsi 40% anggaran Uni Eropa yang mencapai 160 miliar euro. Kebanyakan dana CAP (lebih dari tiga perempat) disalurkan kepada petani secara pembayaran langsung.
Akan tetapi akibat ketidakpastian yang antara lain disebabkan Brexit dan ketidakmampuan UE untuk mencapai kata sepakat soal besaran anggaran, para petani khawatir mereka akan menanggung beban akibatnya.
“Semakin besar [pertanian] Anda, semakin besar [uang] yang Anda dapat,” kata Claude, seorang wanita petani sayuran di Burgundy yang datang ke Salon International d’Agriculture. “Tidak bisa seperti itu. Itu tidak adil,” imbuhnya.
Aurélie Catalo, manajer koordinasi platform For Another PAC, mengatakan bahwa agribisnis sekarang ini dihitung berdasarkan luas lahan.
Organisasinya mengajukan agar dana diberikan sesuai dengan upah buruh tani dan bukan berapa hektar lahan yang dimiliki petani. Apabila luas lahan yang dihitung maka petani besar justru yang paling beruntung.
Catalo berpikir bahwa anggaran CAP akan turun di rahun-tahun mendatang. “Anda tidak bisa berharap petani akan begitu saja mengubah praktik pertanian sebab subsidi menurun.”*