Hidayatullah.com—Operator kapal-kapal swasta yang dipergunakan untuk menyelamatkan migran dan pengungsi yang terombang-ambing di Laut Mediterania sudah biasa menemui kesulitan ketika akan melabuhkan armadanya. Namun, pandemi coronavirus sekarang ini semakin menyulitkan mereka sebab negara-negara di Eropa, seperti Italia dan Malta yang terletak di kawasan Mediterania, menutup rapat-rapat pelabuhannya dengan alasan sedang lockdown dan khawatir akan penyebaran Covid-19 dari para migran.
Pemerintah Malta, contohnya, mengatakan tidak memiliki pilihan lain kecuali menutup pelabuhannya dengan alasan kurang kapasitas untuk mengoperasikannya, sebab sebagian energi saat ini diarahkan untuk memerangi pandemi Covid-19.
Sekarang ini, kebanyakan negara anggota Uni Eropa menutup perbatasan-perbatasan mereka. Pakar keimigrasian Uni Eropa Raphael Bossong, dari German Institute for International and Security Affairs (SWP), mengatakan itu merupakan tindakan sah yang diambil pada masa krisis seperti yang diakibatkan coronavirus.
Akan tetapi, bukan berarti negara-negara itu lantas bisa begitu saja memalingkan wajah mereka dari orang-orang yang meminta pertolongan, kata Bossong. “Apabila ada sebuah armada mengangkut pencari suaka di laut, maka pengecualian harus diambil dan kapal tersebut diperbolehkan memasuki pelabuhan.”
Hukum maritim internasional menyebutkan bahwa orang yang diselamatkan dari laut harus dibawa ke pelabuhan aman terdekat.
Kapal-kapal penyelamat seperti Alan Kurdi, yang dioperasikan oleh organisasi Sea-Eye, sudah kesulitan untuk berlabuh jauh sebelum ada wabah coronavirus, dan sekarang hampir mustahil bagi mereka untuk merapatkan kapalnya di salah satu negara Eropa terdekat.
Sekarang ini, kapal Alan Kurdi sedang melemparkan jangkar di lepas pantai Sisilia, di mana sudah sepekan lebih kru kapal dan 149 migran yang diselamatkannya menunggu kabar peluang berlabuh.
Sementara itu tampak pemandangan mengerikan di lepas pantai Malta. Hari Rabu (15/4/2020) lima mayat diciduk dari laut. Kabarnya mereka merupakan sebagian dari penumpang sebuah perahu karet migran yang karam. Menurut International Organization for Migration (IOM), 51 orang dari mereka diangkat dari laut dalam keadaan hidup oleh sebuah kapal dagang yang melintas dan diserahkan ke penjaga pantai Libya. Pihak-pihak berwenang mengatakan mereka saat ini ditempatkan di sebuah kamp pengungsi di Tripoli, ibu kota negara yang sedang berkecamuk perang saudara.
Oliver Kulikowski dari organisasi Sea Watch mengatakan bahwa meskipun Italia saat ini sedang terdampak coronavirus sangat parah, hal ini bukan berarti bisa dijadikan alasan oleh para politisi untuk mengabaikan hak asasi manusia dan hukum maritim internasional.
“Tak peduli situasinya di Eropa, orang-orang saat ini masih berusaha menyelamatkan diri dari Libya –dimana penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia merupakan kekerapan sehari-hari—dengan menggunakan armada yang sangat tidak layak,” kata Kulikowski seperti dikutip DW Jumat (17/4/2020).
Tom Garofalo dari International Rescue Committee (IRC) setuju dengan penilaian bahwa mengembalikan migran dan pengungsi ke Libya tidaklah aman. “Sudah pasti bahwa membawa orang-orang itu kembali ke pelabuhan Tripoli sangat berbahaya disebabkan pertempuran yang terus berlangsung, tetapi [saat ini tidak ada alternatif lain.”
“Pelabuhan-pelabuhan Eropa tidak ada yang menerima mereka. Tidak ada tempat yang bisa mereka tuju. Dan karena itu mereka dibawa kembali ke Libya,” kata Garafalo.
Diperkirakan saat ini sekitar 600.000 orang migran dan pengungsi ada di Libya, meskipun tidak semuanya bermaksud melanjutkan perjalanan ke Eropa, kata Garafalo. Banyak dari mereka yang pergi ke Libya untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan uang, dengan harapan dapat pulang kembali ke negeri asalnya secepat mungkin.
Akan tetapi, kondisi peperangan yang terus berlangsung dan munculnya pandemi coronavirus kemungkinan akan mendorong para migran dan pengungsi itu untuk meninggalkan Libya.
Dalam upaya mencegah mereka nekat berangkat ke Eropa, Malta mengusulkan Uni Eropa memberikan paket bantuan kepada Libya. Rencananya, UE akan memberikan bantuan sedikitnya bernilai €100 juta berupa pangan,obat-obatan dan perlengkapan medis.
Pada Oktober 2019, mayoritas anggota Parlemen Eropa menolak proposal yang akan memberikan hak lebih banyak bagi organisasi-organisasi penyelamat migran/pengungsi. Ini artinya, solidaritas internasional di kalangan negara Eropa sudah tidak tampak sebelum masa wabah coronavirus, terlebih lagi di masa penyakit Covid-19 merajalela.*