Hidayatullah.com–Arab Saudi, Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA) memainkan peran dengan mendukung Brigadir Jenderal Khalifa Haftar dalam misinya untuk mengambil alih ibukota Libya, Tripoli. Pernyataan ini disampaikan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional seperti yang dilaporkan Middle East Monitor (MEMO).
Dalam sebuah film dokumenter yang disiarkan pada Jumat, GNA mengungkapkan bagaimana Haftar menerima bantuan militer dan logistic dari negara-negara Arab sementara GNA terpaksa meminta bantuan Turki dengan mengikuti jalan hukum. Namun, GNA juga mengikuti langkah yang diminta para pemain internasional untuk diakhirinya campur tangan asing di negara itu, sementara operasi-operasi ilegal mereka yang mendukung Haftar terus diabaikan.
Rekaman itu mengklaim UEA menduduki Pangkalan Udara Al Khadim, di selatan Al-Marj, di mana ia telah mengelola operasi militernya untuk mendukung milisi Haftar di Libya sejak 2014. Uni Emirat Arab mengirim 37 pesawat kargo dalam 12 hari setelah pengumuman gencatan senjata pada Januari 2020.
Pangkalan udara ini dapat menampung jet General Dynamics F16 dan pejuang Dassault Mirage 2000 dan Dassault Rafale. Negara Teluk itu berupaya untuk memungkinkan Haftar menjual minyak dari Korporasi Minyak Nasional (NOC) Libya, membelokkan aliran dana dari pemerintah.
Selain meluncurkan televisi dan saluran media lainnya untuk mendukung gerakannya, film dokumenter itu mengungkapkan, UEA juga menyusup ke misi PBB di Libya membayar utusan 1.000 AS dolar sehari dan mendapat keuntungan sementara kesepakatan damai sedang ditengahi.
Akademi Diplomatik Emirat mengklaim bahwa utusan PBB untuk Libya, Ghassan Salamé, juga merupakan salah satu karyawannya.
Sementara Mesir, menyetujui wilayah udaranya digunakan untuk menyerang Libya pada September 2014, di samping mengirim tentara untuk bertempur di lapangan. Pasal 9 dari kesepakatan Haftar dengan Mesir menyatakan bahwa Libya tidak memiliki hak untuk menuntut setiap tentara Mesir yang melakukan kejahatan atau pelanggaran di wilayahnya. Dalam kasus seperti itu, prajurit tersebut akan dikembalikan ke negaranya untuk diadili.
Ini memungkinkan angkatan udara Mesir untuk melanggar wilayah udara Libya dengan dalih “menargetkan teroris”. Pendukung Panglima Haftar secara teratur mengiriminya senjata yang melanggar embargo senjata PBB yang dikenakan pada negara tersebut.
Laporan itu juga mengungkap peran tentara Rusia dalam mendukung pasukan Haftar di darat. Pada awal 2019, surat kabar internasional mengutip layanan intelijen asing yang mengatakan bahwa 300 tentara bayaran tiba di pelabuhan Tobruk dan Derna di Libya.*