Hidayatullah.com—Yang di-Pertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah hari Senin (18/5/2020) memperingatkan para politisi agar tidak menyeret negerinya ke dalam perselisihan politik lagi.
Menegaskan bahwa sekarang rakyat sedang mengalami kesusahan dan menghadapi masa depan yang sulit akibat pandemi Covid-19, Raja mengatakan para politisi seharusnya tidak menyulut api permusuhan dan perpecahan.
“Anggota parlemen yang terhormat hendaknya senantiasa menunjukkan kedewasaan dalam politik. Ini termasuk memahami penderitaan rakyat, mengutamakan kepentingan mereka, memegang prinsip-prinsip keadilan, mempraktikkan budaya politik bersih, dan menahan diri dari mengusik sensitivitas agama dan rasial serta kedaulatan dan posisi Penguasa-Penguasa Malaysia.”
“Itulah mengapa pemerintahan saya dalam masa rapat pertama hari ini hanya memiliki satu agenda, yaitu Pidato Kerajaan saya dalam kaitannya dengan pembukaan masa sidang baru parlemen,” kata Raja Malaysia itu yang disambut dengan tepukan meriah dari anggota-anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara (senat), seperti dilansir kantor berita Bernama.
Dalam pidato kenegaraan ketika membuka sidang ketiga Parlemen ke-14 di Bangunan Parlimen Malaysia, Al-Sultan Abdullah berpesan agar politisi tidak membiarkan perbedaan pendapat di antara mereka menyebabkan permusuhan dan pertengkaran, tetapi hendaknnya mengubahnya menjadi upaya untuk membangun dan mempersatukan bangsa.
Rakyat, ujar Raja, harus bekerja sama dengan pemerintah guna memastikan kesinambungan pembangunan nasional.
Pidato kenegaraan ini disampaikan ketika saat ini di berbagai daerah di Malaysia tampak dinamika politik yang cukup seru, di mana terjadi pula pergantian menteri besar (kepala pemerintahan wilayah negara bagian) dan hengkangnya ratusan politisi dari koalisi Pakatan Harapan. Suara-suara mantan PM Mahathir Mohamad pun kembali terdengar. Situasinya seolah mengingatkan orang akan gejolak politik “perebutan kursi PM antara Mahathir dan Anwar Ibrahim” pada awal tahun 2020, padahal Malaysia kala itu mulai menghadapi wabah Covid-19.
Menjelaskan soal pergantian pimpinan pemerintahan bulan Februari lalu, Al-Sultan Abdullah mengatakan bahwa perdana menteri kedelapan Malaysia dipilih setelah partai-partai politik diberikan waktu yang cukup untuk melakukan kalkulasi politik, mempertimbangkan dan mengusulkan kandidat perdana menteri.
“Pada 24 Februari pukul 5 petang, saya beraudiensi dengan Tun Dr Mahathir Mohamad. Dalam pertemuan itu saya meminta Tun Dr Mahathir agar tidak mengundurkan diri. Namun, beliau bersikukuh pada keputusannya,” kata Raja Malaysia itu.
Menegaskan bahwa krisis politik tidak boleh dibiarkan berkepanjangan, Raja mengatakan dia bertanggung jawab untuk menunjuk perdana menteri baru sebagaimana digariskan dalam Konstitusi Federal.
Oleh karena itu, Raja menggelar pertemuan tatap muka satu per satu dengan setiap anggota parlemen guna mengevaluasi sikap mereka sendiri dan meminta perwakilan partai di Dewan Rakyat untuk menominasikan seorang anggota parlemen sebagai kandidat perdana menteri.
“Pasal 43 [Konstitusi Federal] memberikan kewenangan kepada saya untuk menunjuk seorang anggota parlemen yang menurut pertimbangan saya sepertinya akan mampu mendulang dukungan mayoritas dari kalangan anggota Dewan Rakyat.”
“Demikianlah, setelah melalui proses seksama dan sejalan dengan Konstitusi Federal, saya mendapati Tan Sri Muhyiddin Yassin mendapatkan kepercayaan dari mayoritas anggota parlemen dan layak untuk ditunjuk sebagai perdana menteri ke-8,” imbuh Raja, seraya menegaskan bahwa dia berusaha melakukan tugas dan kewenangannya itu dengan transparan dan sesuai koridor undang-undang dan demokrasi yang berlaku di Malaysia.
Dalam pidatonya, Raja Malaysia itu juga berpesan kepada PM Muhyiddin Yassin agar tidak mengabaikan amanah dan kepercayaan rakyat apalagi menyalahgunakannya.
Di bagian akhir pidatonya, Al-Sultan Abdullah menyatakan dukungannya untuk implementasi Rencana Aksi Persatuan Nasional yang diusung pemerintah dan menegaskan posisi Islam sebagai agama resmi negara, sebagaimana termaktub dalam Konstitusi Federal. Kedudukan Islam itu harus terus dikawal dan dijaga, dan pada saat yang sama orang yang memiliki kepercayaan lain harus diperbolehkan melaksanakan ajaran agamanya.*