Hidayatullah.com-Pemerintahan Abu Dhabi menjadi pendukung rezim berdarah Assad sejak tahun 2018. Sebelumnya Uni Emirat Arab (UEA), yang pernah memutus semua hubungan diplomatiknya dengan Suriah setelah Arab Spring pada 2011. Kebijakan ini direvisi setelah Rusia membantu Assad di Suriah.
Pada 27 Desember 2018 pemerintahan Abu Dhabi membuka kembali kedutaan besarnya di Damaskus, yang sempat ditangguhkan selama hampir 7 tahun, untuk normalisasi hubungan dengan rezim Assad.
Dalam sebuah laporan dari kantor berita resmi UEA, WAM, keputusan Kementerian Luar Negeri UEA yang membuka kembali kedutaan besar di Damaskus ditujukan untuk normalisasi hubungan antara kedua negara dan penghapusan risiko intervensi regional dalam masalah antara dunia Arab dan Suriah.
Dalam pidatonya pada peringatan ke-48 kemerdekaan negaranya pada 2 Desember 2019 di Damaskus, Duta Besar UEA untuk Damaskus Abdulhakim al-Naimi, secara terbuka memuji rezim Bashar Assad.
Menyampaikan negaranya mengubah kebijakannya terhadap rezim Assad.
Al-Naimi mengatakan bahwa rezim Assad memiliki pemerintahan yang cerdas, hubungan yang kuat, solid dan istimewa dengan UEA.
Pengusaha UEA pergi ke Damaskus meski ada peringatan dari AS
Karena mengimpor sekitar 60 persen senjatanya dari AS, UEA dianggap sebagai salah satu sekutu penting pemerintah Washington di kawasan itu.
Namun, terlepas dari semua peringatan dari AS, UEA tidak ragu-ragu untuk mengirim delegasi 40 orang pengusaha ke sebuah pameran di Damaskus pada Agustus 2019.
Sebelum pameran, Kedutaan Besar AS di Suriah memperingatkan bahwa mereka mendapatkan beberapa laporan para pengusaha negara teluk itu akan berpartisipasi dalam acara tersebut.
AS memperingatkan akan memasukkan nama para pengusaha UEA itu ke dalam daftar sanksi mereka.
Namun hingga kini belum ada sanksi AS yang dijatuhkan kepada delegasi UEA yang datang ke Damaskus.
UEA ingin menjaga hubungan perdagangannya serta memperkuat investasi pariwisata dan real estat yang pernah ada sebelum 2011 melalui pengusaha yang dikirim ke Damaskus itu.*