Hidayatullah.com—Dubes Prancis untuk Pantai Gading Gilles Huberson dipanggil pulang setelah mendapatkan sejumlah tuduhan kejahatan seksual yang dilakukannya di sejumlah negara.
Laporan koran investigasi Mediapart menyebutkan bahwa lima orang wanita telah memberikan kesaksian tentang perilaku tidak senonoh yang dilakukan Huberson terhadap mereka, lansir RFI Sabtu (19/9/2020).
Meskipun Kementerian Luar Negeri Prancis belum secara resmi memberikan informasi tentang hal itu, kecuali “penarikan administratif” terhadap Huberson, sebagian kalangan mempertanyakan kenapa diplomat senior itu dipanggil pulang ke Paris kurang dari 50 hari menjelang pemilihan presiden Pantai Gading, bekas koloni Prancis, yang diperkirakan akan berlangsung sengit.
Huberson pernah menjabat sebagai duta besar Prancis di Mali antara tahun 2013 dan 2016. Kemudian dia dikirim ke Pantai Gading pada 2017, posisi yang dipandang penting dalam dunia diplomasi di kalangan negara-negara berbahasa Prancis.
Mediapart mengakses sejumlah pernyataan saksi dari para wanita yang terlibat langsung dalam kasus seksual terkait Huberson. Mereka pernah bekerja langsung maupun tidak langsung dengan diplomat Prancis itu.
Beberapa di antara mereka memberikan kesaksian tentang suasana kerja di lingkungan Kedutaan Prancis yang digambarkannya seperti “ruang ganti pakaian”, di mana ujaran dan guyonan cabul kerap diutarakan. Dubes Huberson digambarkan sebagai seorang bos otoriter yang senang menenggak minuman whiskey dan menghisap cerutu.
Para saksi bercerita tentang perilaku Debes Huberson yang pernah “menyosor” wanita yang berusaha diciumnya, dan tuduhan-tuduhan cabul lain.
Menurut informasi yang diterima Radio France Internationale (RFI) Service Afrique yang berbicara dengan Quai d’Orsay (kantor pusat Kemenlu Prancis), pemanggilan pulang Huberson ke Paris tidak bersifat politis dan tidak ada hubungannya dengan kemungkinan ketidaksepahaman antara Presiden Macron dan Presiden Ouattara.
RFI diberitahu bahwa Kementerian Luar Negeri berupaya mencari pengganti Huberson sesegera mungkin sebelum penyelenggaraan pemilihan presiden Pantai Gading 31 Oktober.*