Hidayatullah.com—Prancis telah menutup lebih dari 70 masjid dan sekolah Islam swasta sejak Januari, pihak berwenang mengkonfirmasi, The New Arab melaporkan.
Laporan tersebut keluar hanya beberapa hari setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron dikecam karena membuat komentar yang dianggap Islamofobia.
Setidaknya 73 masjid dan sekolah swasta Islam di seluruh Prancis telah ditutup oleh pihak berwenang sejak Januari. Penutupan tersebut dalam upaya untuk memerangi “Islam ekstremis”, kata Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanan pada hari Selasa (13/10/2020).
Dalam jumpa pers, menteri membenarkan bahwa sebuah masjid dan sekolah swasta di daerah Heralt ditutup bulan lalu, bersama dengan “organisasi” dan sembilan toko di daerah lain.
Menteri juga menyerukan pengusiran ratusan warga negara asing dari Prancis.
“Kita harus mengusir 231 orang asing dari wilayah Prancis, yang tinggal di sana secara ilegal, dan dikejar dengan tuduhan ekstremisme, termasuk 180 orang di penjara,” katanya.
Langkah itu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara Prancis dan komunitas Muslimnya.
Pekan lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menggambarkan Islam sebagai agama “dalam krisis” di seluruh dunia. Ia juga mengatakan pemerintah akan mengajukan rancangan undang-undang pada bulan Desember untuk memperkuat undang-undang tahun 1905 yang secara resmi memisahkan institusi agama dan negara di Prancis.
Dia mengumumkan pengawasan pemerintah yang lebih ketat terhadap sekolah dan kontrol yang lebih baik atas pendanaan masjid dari luar negeri.
Macron juga memperingatkan terhadap pembentukan “masyarakat tandingan” yang memegang hukumnya sendiri di antara Muslim Prancis.
Para cendekiawan di lembaga Islam Sunni Mesir, Al-Azhar, mengecam pernyataan itu sebagai “rasis” dan menuduh pemimpin Prancis itu menyebarkan “pidato kebencian”.
“Dia membuat tuduhan palsu terhadap Islam, yang tidak ada hubungannya dengan esensi sejati dari agama ini,” kata Akademi Riset Islam Al-Azhar dalam pernyataannya.
“Pernyataan rasis seperti itu akan mengobarkan perasaan dua miliar pengikut Muslim” di seluruh dunia, dan menghalangi jalan menuju dialog yang konstruktif, tambah pernyataan itu.
Al-Azhar mengatakan membuat “tuduhan palsu tentang Islam atau agama lain, seperti separatisme dan isolasi” bertentangan dengan “realitas sebenarnya dari apa yang diminta agama-agama ini”.
Ia juga mengutuk mereka yang mengeksploitasi atau menggunakan “teks agama untuk mencapai tujuan yang tidak baik”.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga membalas serangan pemimpin Prancis itu.
“Pernyataan Macron bahwa ‘Islam sedang dalam krisis’ adalah provokasi terbuka yang melampaui rasa tidak hormat,” kata Erdogan dalam pidato yang disiarkan televisi.
“Siapa Anda untuk berbicara tentang penataan Islam?” ia bertanya, menyebutnya sebagai “kurang ajar”.
Erdogan menyarankan Macron “untuk lebih memperhatikan saat berbicara tentang masalah yang dia abaikan”.
“Kami berharap dia bertindak sebagai negarawan yang bertanggung jawab daripada bertindak seperti gubernur kolonial.”
Turki adalah negara sekuler dengan mayoritas Muslim yang merupakan bagian dari NATO tetapi bukan Uni Eropa. Tawaran keanggotaannya telah terhenti selama beberapa dekade karena berbagai sengketa, baik yang terkait dengan kebijakan domestik maupun luar negeri.*