Hidayatullah.com–Muhajirin Rohingya di Bangladesh menentang kudeta militer di negara asal mereka Myanmar. Mereka mengatakan mengkhawatirkan tentang keselamatan orang yang mereka cintai, lapor Anadolu Agency.
“Kami khawatir Tatmadaw [tentara Myanmar] akan melancarkan operasi lagi,” kata Muhammad Ansar, 35 tahun, salah satu dari lebih dari 750.000 Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan brutal dan penganiayaan setelah penumpasan tentara pada tahun 2017, kepada Anadolu Agency. “Jangan percaya bahwa itu akan meninggalkan kekuasaan.”
Ribuan pria, wanita, dan anak-anak Muslim dibunuh, dilempar ke dalam api, dan diperkosa di negara mayoritas Buddha itu. Bangladesh menampung lebih dari satu juta Muslim Rohingya di kamp-kamp darurat yang sempit di Cox’s Bazar, yang dianggap sebagai pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Hampir 600.000 dari mereka, bagaimanapun, masih tinggal di negara Asia Tenggara, tetapi tanpa kewarganegaraan dan hak suara.
Militer Myanmar sekarang bertanggung jawab dan telah menyatakan keadaan darurat selama setahun. Para pemimpin termasuk Aung San Suu Kyi, yang telah dituduh melanggar undang-undang impor dan ekspor dan kepemilikan perangkat komunikasi yang melanggar hukum, masih dalam tahanan rumah.
“Kami tidak dapat menghubungi kerabat kami di Rakhine karena seringnya jaringan seluler terganggu,” kata Jumalida Begum, 36 tahun. “Kami mendengar militer mungkin akan melancarkan tindakan keras baru. Saya khawatir.”
Rahmat Karim, 57, mengatakan semua harapan untuk kembali ke tanah air telah hancur setelah militer 1 Februari mengambil alih. “Sepertinya sangat tidak mungkin sekarang.”
Myanmar sebelumnya mengatakan pihaknya berkomitmen untuk repatriasi sesuai perjanjian bilateral dengan Bangladesh. Amir Ali, seorang pelajar muda, mengatakan adalah kesalahan Suu Kyi untuk bekerja dan berkolaborasi dengan militer, yang berhak mendapatkan 25% kursi di parlemen. “Kami tidak punya harapan bagus dari militer,” katanya.
Suu Kyi di Mahkamah Internasional pada 2019 membantah tuduhan bahwa militer telah melakukan genosida. Dia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991.
“Kami tidak mendukung kudeta. Kami mendukung demokrasi,” kata Mohammed Ayyub Khan, yang mengepalai Organisasi Solidaritas Rohingya yang berbasis di Myanmar, kepada Anadolu Agency.
Dia, bagaimanapun, menambahkan bahwa rezim sipil dan militer sama-sama menganiaya Rohingya. “Bahkan Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi gagal menghentikan genosida di Rakhine,” kata Khan.
Ia menyatakan tekad untuk terus memperjuangkan hak-hak masyarakat minoritas, terlepas dari siapa yang berkuasa.*