Hidayatullah.com–Ali Akbar Mohtashamipour, seorang tokoh Syiah yang menjabat sebagai duta besar Iran untuk Suriah ketika menjadi pendiri kelompok militan Lebanon Hizbullah, telah meninggal karena virus corona.
Mohtashamipour meninggal di sebuah rumah sakit di Teheran utara setelah tertular virus, kantor berita IRNA yang dikelola pemerintah melaporkan pada hari Senin, lapor TRT World pada Selasa (08/06/2021).
Tokoh, yang selalu mengenakan sorban hitam (dalam tradisi Syiah sorban hitam adalah penanda keturunan langsung Nabi Muhammad), telah tinggal di kota suci Syiah Najaf, Irak, selama 10 tahun terakhir.
Sekutu dekat mendiang Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini, Mohtashamipour pada 1970-an membentuk aliansi dengan kelompok-kelompok militan Muslim di seluruh Timur Tengah.
Setelah Revolusi Islam, ia membantu mendirikan paramiliter Garda Revolusi di Iran dan sebagai duta besar untuk Suriah membawa pasukan ke wilayah tersebut untuk berkontribusi sebagai pendiri Hizbullah.
Di tahun-tahun terakhirnya, ia perlahan-lahan bergabung dengan gerakan reformis di Iran, berharap untuk mengubah teokrasi Republik Syiah dari dalam. Dia mendukung para pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi dan Mahdi Karroubi dalam protes Gerakan Hijau Iran setelah pemilihan kembali Presiden Mahmoud Ahmadinejad tahun 2009 yang disengketakan.
“Jika seluruh rakyat menjadi sadar, menghindari tindakan kekerasan dan melanjutkan konfrontasi sipil mereka dengan itu, mereka akan menang,” kata Mohtashamipour pada saat itu, meskipun Ahmadinejad pada akhirnya akan tetap menjabat. “Tidak ada kekuatan yang dapat melawan keinginan rakyat.”
Pemimpin Tertinggi Iran saat ini Ayatollah Ali Khamenei memuji Mohtashamipour atas “jasa revolusionernya,” sementara Presiden Hassan Rouhani mengatakan tokoh itu “mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan gerakan Islam dan realisasi cita-cita revolusi.”
Lahir di Teheran pada tahun 1947, Mohtashamipour bertemu Khomeini sebagai tokoh tetap di pengasingan di Najaf setelah diusir dari Iran oleh Shah Mohammad Reza Pahlavi. Pada 1970-an, ia melintasi Timur Tengah berbicara kepada kelompok-kelompok militan pada saat itu, membantu membentuk aliansi antara Iran dan Organisasi Pembebasan Palestina saat memerangi ‘Israel’.
Setelah ditangkap oleh Irak, Mohtashamipour menemukan jalannya ke kediaman Khomeini di pengasingan di luar Paris. Mereka kembali dengan penuh kemenangan ke Iran di tengah Revolusi 1979.
Pada tahun 1982, Khomeini mengerahkan Mohtashamipour ke Suriah, yang saat itu berada di bawah pemerintahan diktator Hafez Assad. Sebagai diplomat, Mohtashamipour mengawasi jutaan dolar yang mengalir untuk mendanai operasi Garda Revolusi di wilayah tersebut.
Lebanon, yang saat itu didominasi oleh Suriah, yang mengerahkan puluhan ribu tentara di sana, mendapati dirinya diserang oleh ‘Israel’ pada tahun 1982 ketika Zionis mengejar PLO di Lebanon. Dukungan Iran mengalir ke komunitas Syiah yang diduduki Israel. Itu membantu menciptakan kelompok militan baru yang disebut Hizbullah.
AS menuduh Hizbullah dalang di balik pengeboman Kedutaan Besar AS di Beirut tahun 1983 yang menewaskan 63 orang, serta pengeboman setelahnya terhadap barak Marinir AS di ibukota Lebanon yang menewaskan 241 tentara AS dan serangan lain yang menewaskan 58 pasukan terjun payung Prancis. Hizbullah dan Iran membantah terlibat.
“Pengadilan menemukan bahwa tidak diragukan lagi bahwa Hizbullah dan agen-agennya menerima dukungan material dan teknis besar-besaran dari pemerintah Iran,” tulis Hakim Distrik AS Royce Lamberth pada tahun 2003.
Pendapat Lamberth, mengutip seorang pejabat intelijen Angkatan Laut AS, yang secara langsung menyebut Mohtashamipour diperinthakan Teheran untuk menghubungi Hizbullah yang baru lahir untuk “menghasut serangan terhadap koalisi multinasional di Lebanon, dan ‘untuk mengambil tindakan spektakuler terhadap Marinir Amerika Serikat.’”
Sebuah obituari IRNA tentang Mohtashamipour hanya menggambarkannya sebagai “salah satu pendiri Hizbullah di Lebanon” dan menyalahkan “Israel” atas pemboman yang melukainya. Itu tidak membahas tuduhan AS tentang keterlibatannya dalam pemboman bunuh diri yang menargetkan orang Amerika.
Pada saat upaya pembunuhan terhadapnya, badan intelijen Israel Mossad telah menerima persetujuan dari Perdana Menteri Yitzhak Shamir saat itu untuk mengejar Mohtashamipour, menurut “Rise and Kill First,” sebuah buku tentang pembunuhan Israel oleh jurnalis Ronen Bergman.
Mereka memilih untuk mengirim bom yang disembunyikan di dalam sebuah buku tentang “volume luar biasa dalam bahasa Inggris tentang tempat-tempat suci Syiah di Iran dan Irak” pada Hari Valentine tahun 1984, tulis Bergman.
Bom meledak ketika Mohtashamipour membuka buku itu, merobek tangan kanannya dan dua jari di tangan kirinya. Tapi dia selamat, kemudian menjadi menteri dalam negeri Iran dan menjabat sebagai anggota parlemen garis keras di parlemen sebelum bergabung dengan reformis pada 2009.*