Hidayatullah.com — “Anak-anak saya kedinginan,” kata seorang ibu yang tinggal di kamp pengungsian di provinsi Idlib. Pengungsi internal Suriah itu mengungkapkan bahwa anak-anaknya mengumpulkan sampah untuk dibakar agar tetap hangat di tengah musim dingin yang pahit.
“Setiap pagi saya bangun dan menemukan bahwa anak-anak saya tidak ada di dekat saya,” kata Umm Raghad kepada Agence France-Presse (AFP) dari kamp pengungsian di benteng oposisi terakhir, Idlib.
“Mereka keluar pagi-pagi untuk mengumpulkan sisa-sisa plastik dari jalanan, seperti tas dan sol sepatu,” kata ibu tiga anak itu, wajahnya setengah tertutup syal hitam tebal.
Musim dingin biasanya menjadi tragedi bagi Suriah barat laut, rumah bagi lebih dari 3 juta orang. Hampir setengahnya telah mengungsi akibat perang selama satu dekade yang telah menewaskan hampir setengah juta orang.
Di kamp-kamp darurat di Idlib, jalanan menjadi berlumpur, tenda bocor, dan penduduk meninggal karena hipotermia atau kebakaran yang disebabkan oleh metode pemanasan yang tidak aman.
Menjanda karena perang, Umm Raghad pindah ke kamp Kafr Arouk tiga tahun lalu untuk menghindari pertempuran di bagian lain provinsi Idlib.
Musim dingin berdampak keras bagi keluarganya, yang tidak memiliki cukup uang bahkan untuk kebutuhan paling dasar, katanya.
“Saya tidak mampu membeli tungku atau memberi makan anak-anak saya,” kata Umm Raghad, dilansir Daily Sabah pada Rabu (23/12/2021).
“Anak-anak saya kedinginan. Mereka tidak punya pakaian yang layak.”
‘Bertahan hidup’
Hujan salju dan suhu di bawah nol bukanlah hal yang aneh di barat laut Suriah.
Lembaga-lembaga bantuan sering membantu melindungi tenda dan menyediakan selimut dan pakaian, tetapi dana bantuan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
Menurut badan pengungsi PBB UNHCR, $ 182 juta diperlukan untuk membiayai kebutuhan yang meningkat dalam bantuan musim dingin di seluruh Suriah tahun ini tetapi hanya setengah dari jumlah tersebut yang telah terpenuhi.
Di kamp Kafr Arouk, tungku sederhana yang dipasang di tenda terpal Umm Raed menarik lusinan orang yang ingin tetap hangat.
Tahun lalu, sekelompok orang menyumbangkan pemanas untuk Umm Raed, yang tiga anak dari delapan anaknya berkebutuhan khusus.
Ibu berusia 45 tahun itu tidak mampu membeli batu bara atau kayu, jadi dia puas dengan sampah sisa makanan yang dikumpulkan oleh anak-anak Umm Raghad dan pengungsi lainnya yang mencari makan selama berjam-jam di halaman kamp Suriah yang berlumpur.
“Tetangga kami semua berkumpul di sini, di tenda saya agar tetap hangat,” katanya kepada AFP. “Itu menjadi ramai dengan sekitar 15 orang berdesakan dalam satu tenda, tempat mereka makan dan minum dan duduk.”
Bulan lalu, Doctors Without Borders, atau MSF, yang memberikan dukungan kepada puluhan kamp di barat laut Suriah, memperingatkan bahwa tungku pemanas yang tidak aman membuat orang berisiko lebih tinggi tertular penyakit pernapasan dan komplikasi karena menghirup asap.
“Penyakit pernapasan secara konsisten merupakan salah satu dari tiga penyakit teratas yang dilaporkan di fasilitas kami di barat laut,” katanya.
Asap
Umm Mohammad, yang mengungsi sembilan tahun lalu dari kota utara Aleppo, termasuk di antara orang-orang yang mempertaruhkan paru-paru mereka agar tetap hangat.
Di dalam tendanya di sebuah kamp Idlib, ranting dan kertas yang dibakar untuk memanaskan tungku kecil yang mengeluarkan asap putih.
“Baunya kuat dan banyak asapnya,” katanya.
“Kemarin, dada saya mulai sakit dan saya ingin pergi ke dokter tetapi saya tidak mampu.”
Di dekatnya, Abu Hussein melihat sekelompok anak-anak melingkari api unggun luar ruangan yang membakar tas nilon dan potongan kayu.
“Ketika kami menyalakan api di dalam, di mana penuh sesak dan berasap, dan ada banyak anak-anak, itu menyebabkan mati lemas,” kata ayah 10 anak berusia 40 tahun itu kepada AFP.
Abu Hussein, yang meninggalkan pedesaan provinsi Hama empat tahun lalu, mengatakan dia hampir tidak bisa membeli kayu bakar, apalagi obat untuk penyakit pernapasan.
“Obat resep termurah harganya sekitar TL 50 sampai TL 60 ($3,80-$4,60) tapi … saya tidak punya pekerjaan atau akses ke bantuan,” katanya.
Selain itu, tendanya bocor sehingga air hujan menetes ke anak-anaknya saat mereka tidur, katanya.
“Kadang-kadang, kami begadang semalaman … memasang kantong plastik agar hujan tidak menimpa membasahi mereka.”