Hidayatullah.com—Ada yang tidak banyak diketahui umum terkait pandemi di Amerika Serikat. Infeksi virus corona di pabrik pengolahan daging babi di South Dakota, AS menyebar cepat seperti layaknya kebakaran semak.
Banyak pihak mempertanyakan apa yang dilakukan oleh perusahaan – yang menjadi klaster terbesar penyebaran virus corona di Amerika – untuk melindungi para karyawan mereka dari wabah.
Di tengah penyebaran cepat ini, mengapa sampai wilayah yang tak terlalu padat penduduk di AS ini menjadi kluster terbesar penularan Covid-19?
Pada satu sore pada tanggal 25 Maret, Julia duduk dengan laptopnya dan masuk ke akun Facebook, yang telah ia buka sejak sekolah menengah atas.
Akun sosial media itu dulu ia buka untuk melacak para pria yang ia taksir, namun kali ini, bertahun-tahun kemudian, ia memiliki tujuan yang lebih serius.
“Boleh tolong selidiki Smithfield?” tulisnya untuk Argus911, akun Facebook untuk surat kabar lokal, Argus Leader dikutip BBC, Selasa (21/4/2020). “Mereka mencatat kasus positif (Covid-19) dan pabrik tetap berencana untuk buka,” tambahnya.
“Terima kasih informasinya,” jawab akun Argus911 kepada Julia.
“Apa yang dilakukan karyawan yang positif,” tanya akun itu dan dijawab Julia, “Saya tak tahu persis.”
Pada keesokan harinya, pukul 07:35 pagi, Argus Leader menerbitkan berita, “Karyawan Smithfield Foods positif terkena virus corona.”
Repoter media itu memastikan kasus positif kepada juru bicara pabrik dan bahwa seorang karyawan yang positif saat itu dalam “masa karantina 14 hari”. Tempat karyawan itu bekerja juga sudah disanitasi. Namun pabrik itu – termasuk dalam “industri infrastruktur penting” yang ditetapkan pemerintahan Presiden Donald Trump, dan tetap akan beroperasi.
“Makanan adalah bagian penting kehidupan dan lebih dari 40.000 tim kami, ribuan keluarga peternak dan jaringan pemasok lain adalah bagian penting dalam langkah tanggap negara dalam menghadapi Covid-19,” kata CEO Smithfield Kenneth Sullivan dalam pernyataan lewat video yang dikeluarkan tanggal 19 Maret.
Sullivan menjelaskan alasan mengapa pabrik itu tetap buka, dan ia juga mengatakan mengambil langkah untuk melindungi karyawan dan konsumen.
Namun Julia tetap khawatir.
“Ada berita burung bahwa ada kasus sebelumnya dan bahwa ada orang yang masuk rumah sakit,” katanya.
Julia tidak bekerja di pabrik itu. Ia adalah mahasiswa yang kuliah dari rumah menyusul ditutupnya sebagian besar universitas. Kedua orang tua Julia bekerja di Smithfield dan mereka lah yang memberikan informasi apa yang terjadi di pabrik itu.
Julia adalah satu dari segelintir anak karyawan yang sudah dewasa dan paham akan apa yang terjadi. Mereka menyebut diri sebagai Anak-anak Smithfield yang mengungkapkan apa yang terjadi pada orang tua mereka di tengah pandemi.
‘Orang tua saya tak bisa bahasa Inggris dan tak ada yang bisa bantu’
Banyak pekerja pabrik adalah imigran.
“Orang tua saya tidak bisa berbahasa Inggris, dan mereka tidak bisa membantu diri mereka sendiri. Harus ada yang membantu mereka,” kata Julia.
Smithfield adalah pabrik pengolahan daging babi, Smithfield Foods, yang terletak di kota Sioux Falls, South Dakota, pabrik milik perusahaan China. Pabrik delapan lantai itu terletak di tepi Sungai Big Sioux, dan merupakan produsen pengolahan daging babi terbesar di dunia.
Dalam kapasitas penuh, pabrik itu dapat mengolah 19.500 ekor babi per hari, menjadi daging cincang, daging asap, hotdog dan bentuk olahan lain. Pabrik itu mempekerjakan 3.700 karyawan.
Sebagian besar karyawan Smithfield adalah imigran dan pengungsi termasuk dari Myanmar, Ethiophia, Nepal, Kongo dan El Salvador. Ada 80 bahasa berbeda yang digunakan di pabrik itu.
Gaji karyawan diperkirakan antara 14-16 AS dolar (Rp 200 ribu-240 ribu/satu jam). Jam kerja mereka biasanya panjang dan mereka harus berdiri di lini produksi, dengan jarak yang sangat dekat antara satu dan yang lain.
Keluarga Julia, seperti warga lain di Siox Falls, melakukan apa yang mereka dapat lakukan untuk mencegah tertular Covid-19. Orang tua Julia menggunakan waktu cuti mereka untuk tetap di rumah. Setelah bekerja mereka meletakkan sepatu di luar dan langsung mandi.
Bagi Julia, memberi tahu media adalah cara yang dapat ia lakukan untuk menekan pabrik akan tutup dan agar orang tuanya bisa tetap tinggal di rumah.
Namun apa yang dilakukannya menjadi masa penantian tiga minggu yang penuh kekhawatiran. Orang tuanya tetap diminta datang ke pabrik dan tetap berdekatan dengan karyawan lain saat bekerja, saat istirahat ataupun saat berada di kantin.
Pada saat itu, jumlah kasus di antara karyawan Smithfield meningkat dari 80 menjadi 90 dan kemudian 238.
Klaster penularan tertinggi
Pada tanggal 15 April, saat Smithfield akhirnya ditutup karena tekanan dari kantor gubernur South Dakota, pabrik pengolahan daging babi itu menjadi tempat penularan tertinggi di Amerika Serikat, dengan 644 kasus di antara karyawan Smithfield dan orang yang kontak dengan mereka.
Secara keseluruhan, infeksi di Smithfield terdiri dari 55% kasus di negara bagian itu, melebihi negara bagian lain berdasarkan kasus per kapita.
Pabrik pengolahan daging babi Smithflied, di negara bagian yang dipimpin gubernur dari partai Republik, adalah salah satu dari lima negara bagian yang belum menetapkan karantina wilayah.
Wilayah ini menggambarkan kesenjangan sosial yang terungkap jelas di tengah pandemi. Banyak pekerja kantoran yang dapat bekerja dari rumah sementara pekerja di industri makanan seperti Smithfield dianggap “penting” dan harus tetap bekerja di pabrik.
BBC berbicara dengan enam pekerja dan mantan staf Smitfield yang mengatakan mereka takut untuk bekerja karena khawatir akan kesehatan. Namun mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk tetap masuk.
“Saya harus bayar banyak tagihan. Dan istri saya sebentar lagi melahirkan, jadi saya harus tetap kerja,” kata salah seorang karyawan.
“Kalau saya positif, saya khawatir akan keselamatan istri saya,” tambahnya.*