Hidayatullah.com–Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok telah mengumumkan pengunduran dirinya hanya beberapa pekan setelah dipulihkan jabatannya dalam kesepakatan kontroversial dengan militer.
Para pemimpin sipil dan militer membuat perjanjian pembagian kekuasaan yang tidak mudah yang bertujuan untuk menggerakkan negara menuju pemerintahan yang demokratis, setelah pemberontakan rakyat mengakibatkan pengusiran Omar al-Bashir dari kursi presiden pada 2019.
Pada Oktober 2021, tentara mengambil alih kemudi pemerintahan dari tangan Hamdouk dan menempatkannya dalam tahanan rumah. Pemimpin kudeta, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan beralasan tindakan bulan Oktober itu perlu dilakukan guna mencegah pecahnya perang saudara yang sudah di depan mata. Dia mengatakan Sudan masih berkomitmen untuk mengalihkan kekuasaan ke pemerintahan sipil, lewat pemilu yang direncanakan akan digelar pada Juli 2023.
Setelah dicopot dari jabatannya pada Oktober, di bulan selanjutnya kursi PM dikembalikan kepada Hamdouk menyusul penandatangan kesepakatan pembagian kekuasaan dengan pemimpin kudeta. Berdasarkan kesepakatan yang dicapai pada bulan November, perdana menteri yang dipulihkan itu harus memimpin kabinet teknokrasi sampai pemilihan umum digelar. Tetapi tidak jelas seberapa besar kewenangan yang akan dimiliki pemerintah sipil yang baru itu.
Sementara itu para pengunjuk rasa mengatakan tidak mempercayai militer.
Pengunduran diri Hamdok pada hari Ahad (2/1/2021) itu menyusul gelombang protes massal di seluruh negeri, termasuk di ibukota Khartoum, di mana pasukan keamanan menembakkan gas air mata ke arah demonstran.
Hamdouk mengatakan sudah mengusahakan yang terbaik untuk menghentikan negara dari “terjerumus ke dalam bencana”, tetapi rupanya “meskipun segala sesuatu telah dilakukan untuk mencapai konsensus … upaya itu belum berhasil”.
“Saya memutuskan untuk mengembalikan amanah dan mengumumkan pengunduran diri saya sebagai perdana menteri, dan memberi kesempatan kepada anak bangsa yang mulia ini baik laki-laki maupun perempuan untuk… membantu negeri ini melewati apa sisa masa transisi ke negara demokrasi sipil,” kata Hamdouk dalam pidato yang disiarkan televisi seperti dilansir BBC.
Sejak kudeta bulan Oktober, sedikitnya 56 orang dilaporkan tewas dalam demonstrasi. Setidaknya dua orang tewas oleh pasukan keamanan di kota Omdurman, menurut Sudan Central Doctors’ Committee yang pro-demokrasi.*