Hidayatullah.com– Pengadilan di Myanmar memvonis bersalah Aung San Suu Kyi dalam dakwaan korupsi dan mengganjarnya dengan hukuman penjara.
Suu Kyi berada di dalam tahanan rumah sejak Februari 2021 ketika kudeta militer menggulingkan pemerintahan partainya hasil kemenangan dalam pemilu.
Penerima Nobel Perdamaian berusia 76 tahun itu dijerat dengan sejumlah tuduhan pidana termasuk kecurangan dalam pemilu.
Dia menyangkal semua tuduhan dan kelompok-kelompok hak asasi mengutuk persidangan atas dirinya sebagai pengadilan palsu.
Sidang-sidsng kasus Suku Kyi digelar tertutup untuk umum dan media di ibu kota Nay Pyi Taw, dan pengacara Suu Kyi dilarang berbicara kepada wartawan.
Pada hari Rabu (27/4/2022), pengadilan junta memutuskan dirinya bersalah karena menerima suap $600.000 dalam bentuk uang tunai dan emas batangan dari mantan kepala daerah Yangon, bekas ibu kota dan wilayah terbesar di Myanmar.
Perempuan anak dari seorang jenderal itu divonis lima tahun penjara. Pengacaranya mengatakan kepada BBC bahwa mereka belum bisa bertemu dengannya.
Hukuman terakhir ini ditambah hukuman dari sejumlah vonis sebelumnya total menjadi 11 tahun penjara.
Pada bulan Desember 2021, wanita itu divonis bersalah menyulut pembangkangan terhadap militer dan melanggar aturan pembatasan Covid-19.
Pada bulan Januari 2022, dia dinyatakan bersalah memiliki radio walkie-talkie selundupan di rumahnya dan lagi-lagi melanggar aturan Covid-19.
Suu Kyi masih menghadapi 10 tuduhan korupsi lainnya, masing-masing diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun, serta tuduhan kecurangan pemilu dan pelanggaran undang-undang rahasia pejabat negara.
Pendukungnya mengatakan tuduhan-tuduhan itu sengaja dibuat-buat oleh rezim junta untuk memastikan Suu Kyi, yang tetap sangat dihormati di Myanmar sebagai ikon demokrasi, dipenjara seumur hidup.
Jika dinyatakan bersalah atas semua tuduhan, dia diperkirakan akan menghadapi hukuman penjara total lebih dari 190 tahun.
Rezim militer Myanmar membantah tuduhan tersebut, mengatakan Suu Kyi telah menerima pengadilan yang adil dan proses hukum sejauh ini.
Kudeta bulan Februari tahun lalu di Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, dilakukan beberapa bulan setelah partai pimpinan Susu Kyi, National League for Democracy (NLD), memenangkan pemilihan umum secara telak, mengalahkan partai dukungan militer.
Militer menuduh terjadi kecurangan dalam kemenangan tersebut. Namun, para pengamat independen mengatakan pemilu itu sebagian besar berjalan secara bebas dan adil.
Kudeta kemudian menyulut demonstrasi-demonstrasi anti-junta, sementara tentara menangkapi para pengunjuk rasa pro-demokrasi, aktivis dan jurnalis. Kabarnya, sudah lebih dari 10.000 orang ditangkap sejak militer merebut paksa kekuasaan.
Hampir 1.800 orang tewas dalam tindakan represif militer terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan junta, menurut laporan Assistance Association for Political Prisoners (Burma).*